Karya : Iis Suryatini
BAB I
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an
merupakan kitab suci umat Islam yang mengandung ajaran Allah yang luhur dan
sempurna. Kesempurnaan al-Quran akan tetap terjaga sampai kapanpun baik tulisan
maupun maknanya, karena al-Quran dijaga oleh Allah karena Allahlah
menurunkannya[1].
Bagi siapa saja yang membaca untuk dipelajari, dipahami, dihayati serta
diamalkan maka beruntunglah orang yang seperti itu, dan barang siapa yang
enggan serta jauh dari ayat-ayat al-Quran, maka merugila dia. Sebaik-baiknya
orang adalah orang yang belajar al-Quran dan mengajarkannya kepada orang lain[2].
Kemampuan
memahami al-Quran merupakan kewajiban setiap muslim, terlebih kemampuan
membacanya. Hal ini terkait dengan salah satu pelaksanaan kewajiban seorang
muslim dalam melaksanakan shalat. Apabila seorang muslim belum bisa membaca
al-Quran maka kemungkinan besar membaca ayat al-Qurannnya pun minimum dari apa
yang dapat dihapal. Persoalan kemampuan baca al-Quran merupakan masalah serius
yang wajib dimiliki.
Bagi
peserta didik SMP yang rata-tara telah memasuki akil baligh sejatinya telah
memamahami dasar-sadar pengetahuan tentang al-Quran terutama kemampuan
membacanya. Namun kenyataan lain, dari data pelaksanaan ujian praktek kemampuan
memmbaca al-Quran peserta didik SMP menunjukkan lemahnya nya kemampuan mereka
dalam membaca al-Quran, terlebih lagi dari hasil analisis soal-soal ujian akhir
menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan menjawab soal-soal yang di dalamnya
terdapat ayat al-Quran sangat minim hasilnya. Pepatah bilang kemampuan peserta
didik SMP dengan al-Quran ada umumnya jauh panggangb dari api.
Keadaan ini secara prinsip menjadi keprihatinan orang
tua, guru, bangsa terutama agama. Pada secara tersurat dalam system pendidikan
nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Salah satu aturan yang
mengatur pendidikan tercantun dalam permendiknas no. 22 tahun 2006 tentang standar isi, kemudian dikembangkan oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2005. Dalam lampiran peraturan ini disebutkan kelompok mata pelajaran
dengan cakupannya untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah yang meliputi; (1) Agama dan Akhlak Mulia, (2) Kewarganega-raan dan
Kepribadian, (3) Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, (4) Estetika, dan (5) Jasmani, Olahraga dan Kesehatan. Cakupan dari
kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau
moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Dalam rakteknya mata pelajaran
PAI di sekolah terdiri dari 5 hal, yaitu al-Quran, keimanan, syariah, akhlak,
sejarah. Untuk mencapai cakupan materi agama pada sekolah pada umumnya hanya
tersedia alokasi 2 jam pelajaran yang di dalamnya termasuk wilayah al-Quran.
B.
Identifikasi dan Rumusan masalah
Melihat fakta-fakta di atas, penulis mengkalsifikasikan beberapa pokok
persoalan. Pertama, bahwa kemampuan membaca dan memahami al-Quran
merupakan kemampuan yang mutlak harus dimiliki oleh peserta didik usia SMP; kedua,
adanya fakta bahwa kemampuan membaca dan memahami al-Quran pada anak usia
SMP secara umum rendah; ketiga mata pelajaran PAI merupakan salah satu
mata pelajaran yang diajarkan di sekolah pada tingkat SMP dengan alokasi waktu yang
sangat kurang yakni hanya 2 jam pelajaran pada setiap minggunya.
Rendahnya
kemampuan peserta didik dalam membaca dan memahami al-Quran banyak sekali
faktornya, di antaranya; lemahnya minat dan motivasi peserta didik dalam
pembelajaran al-Quran, proses pembelajaran yang cenderung monoton, dan
kurangnya fasilitas yang membantu dalam pembelajaran al-Quran khususnya dan PAI
pada umumnya.
Persolan inilah yang mendorong penulis menyampaikan suatu konsep
pembelajaran al-Quran di sekolah berbasis multi media, yang diangkat dalam
judul ”Aplikasi pemanfatan multi media dalam pembelajaran al-Quran”
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Meningkatkan minat dan motivasi belajar dalam pembelajaran
al-Quran
2.
Menumbuhkan lingkungan pembelajaran yang variatif,
inovatif dan menyenangkan
3.
Mempermudah
pengadaan alat bantu pembelajaran secara efektif
BAB II
PENGGUNAAN MULTI MEDIA DALAM PEMBELAJARAN AL-QURAN
A.
MULTI MEDIA DALAM PEMBELAJARAN
Penelitian mutakhir tentang otak
menyebutkan bahwa belahan kanan korteks otak manusia bekerja 10.000 kali lebih
cepat dari belahan kiri otak sadar. Pemakaian bahasa membuat orang berpikir
dengan kecepatan kata. Otak limbik (bagian otak yang lebih dalam) bekerja
10.000 kali lebih cepat dari korteks otak kanan, serta mengatur dan mengarahkan
seluruh proses otak kanan. Oleh karena itu sebagian proses mental jauh lebih
cepat dibanding pengalaman atau pemikiran sadar seseorang (Win Wenger, 2003:12-13).
Strategi pembelajaran konvensional pada umumnya lebih banyak menggunakan
belahan otak kiri (otak sadar) saja, sementara belahan otak kanan kurang
diperhatikan. Pada pembelajaran dengan Active learning (belajar aktif)
pemberdayaan otak kiri dan kanan sangat dipentingkan.
Thorndike mengemukakan
bahwa ada 3 hukum belajar, yaitu :
1.
Law
of readiness, yaitu kesiapan seseorang untuk berbuat dapat memperlancar
hubungan antara stimulus dan respons.
2.
Law of exercise, yaitu dengan adanya ulangan-ulangan yang selalu
dikerjakan maka hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi lancer
3.
Law
of effect, yaitu hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi lebih
baik jika dapat menimbulkan hal-hal yang menyenangkan, dan hal ini cenderung
akan selalu diulang.[3]
Beberapa penelitian membuktikan
bahwa perhatian anak didik berkurang bersamaan dengan berlalunya waktu.
Penelitian Pollio (1984) menunjukkan bahwa peserta didik dalam ruang kelas
hanya memperhatikan pelajaran sekitar 40% dari waktu pembelajaran yang tersedia.
Sementara penelitian McKeachie (1986) menyebutkan bahwa dalam sepuluh menit
pertama perhatian peserta didik dapat mencapai 70%, dan berkurang sampai
menjadi 20% pada waktu 20 menit terakhir.[4]
Oleh karena itu merupakan hal
penting dalam pembelajaran PAI untuk menggali potensi anak dengan melibatkan
serta memposisikannya sebagai salah satu sumber belajar sehingga anak merasa dighargai, belajar cenderung
efektif serta bermakna bagi peserta didik itu sendiri, yaitu dengan memfungsikan seluruh mental dan fisik
peserta didik; baik (1) pikiran, (2) pancaindera, (3)
organ-organ tubuh, (4) perasaan dan hati nurani, maupun (5) intuisinya. Dengan cara pelibatan peserta didik dalam
pembelajaran ini akan semakin menarik minat serta perhatian dalam belajar,
serta akan terjadinya long term memory.[5]
Terkait dengan ini, Gagne menyebutkan bahwa
proses pembelajaran dimulai dari hal-hal yang sederhana menuju pada persoalan
yang lebih abstrak (gambar i). Salah satu upaya dalam pelibatan anak yaitu
dengan mengajak anak berpikir kritis terhadap suatu keadaan tertentu, yaitu
dengan mengomentari, mengulas dan ikut memberi kontribusi dalam memecahkan
persoalan-persolan.
Gambar 1
Langkah penting yang tidak boleh
terlupakan dalam pembelajaran PAI adalah bagaimana materi yang telah dipahami
itu (learning to know) kemudian dapat
menjadi “kesatuan diri” bersatu dengan ruh (learning
to be). Proses ini yang disebut dengan internalisasi,
yaitu suatu keadaan di mana apa yang diketahui oleh akal pikiran menjadi bagian
dalam diri peserta didik. Learning to do
mengandung arti bagaimana bahan ajar yang telah menjadi bagian diri mampu
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa ada paksaan maupun ancaman dari
yang lain, melainkan sudah menjadi kebutuhan pokok dirinya tanpa dipikir maupun
ditimbang-timbang[6].
Inilah sesi yang tidak mudah melakukannya, juga tidak mudah mengukur
keberhasilannya. Oleh karena itu pendidikan agama yang sarat dengan nilai dan
makna ini perlu diupayakan menjadi bagian penting dalam diri peserta didik,
karena penanaman makna dan nilai merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran
PAI di sekolah, juga sebagai pembinaan kecerdasan spiritual bagi anak. [7]
Proses pembelajaran pada dasarnya merupakan pemberian stimulus-stimulus
kepada anak didik, agar terjadinya respons yang positif pada diri anak didik.
Kesediaan dan kesiapan mereka dalam mengikuti proses demi proses dalam
pembelajaran akan mampu menimbulkan respons yang baik terhadap stimulus yang
mereka terima dalam proses pembelajaran. Respons akan menjadi kuat jika
stimulusnya juga kuat. Ulangan-ulangan terhadap stimulus dapat memperlancar
hubungan antara stimulus dan respons, sehingga respons yang ditimbulkan akan
menjadi kuat. Hal ini akan memberi kesan yang kuat pula pada diri anak didik,
sehingga mereka akan mampu mempertahankan respons tersebut dalam memory
(ingatan) nya. Hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi lebih baik
kalau dapat menghasilkan hal-hal yang menyenangkan. Efek menyenangkan yang
ditimbulkan stimulus akan mampu memberi kesan yang mendalam pada diri anak
didik, sehingga mereka cenderung akan mengulang aktivitas tersebut. Akibat dari
hal ini adalah anak didik mampu mempertahan stimulus dalam memory mereka dalam
waktu yang lama (longterm memory),
sehingga mereka mampu merecall apa yang mereka peroleh dalam pembelajaran tanpa
mengalami hambatan apapun.
Kondisi tersebut di atas merupakan kondisi umum yang sering terjadi di
lingkungan sekolah. Hal ini menyebabkan seringnya terjadi kegagalan dalam dunia
pendidikan kita, terutama disebabkan anak didik di ruang kelas lebih banyak
menggunakan indera pendengarannya dibandingkan visual, sehingga apa yang
dipelajari di kelas tersebut cenderung untuk dilupakan. Sebagaimana yang
diungkapkan Konfucius
:
1.
Apa yang saya dengar, saya lupa;
2.
Apa yang saya lihat, saya ingat;
3.
Apa yang saya lakukan, saya paham;
Ketiga pernyataan ini menekankan pada pentingnya belajar aktif agar apa
yang dipelajari di bangku sekolah tidak menjadi suatu hal yang sia-sia.
Ungkapan di atas sekaligus menjawab permasalahan yang sering dihadapi dalam
proses pembelajaran, yaitu tidak tuntasnya penguasaan anak didik terhadap
materi pembelajaran. Mel
Silberman (2001) memodifikasi dan memperluas pernyataan Confucius di
atas menjadi apa yang disebutnya dengan belajar aktif (active learning), yaitu :
1.
Apa yang saya dengar, saya lupa;
2.
Apa yang saya dengar dan lihat, saya ingat sedikit;
3.
Apa yang saya dengar, lihat dan tanyakan atau diskusikan
dengan beberapa teman lain, saya mulai paham;
4.
Apa yang saya dengar, lihat, diskusikan dan lakukan, saya
memperoleh pengetahuan dan keterampilan;
5.
Apa yang saya ajarkan pada orang lain, saya kuasai;
Ada beberapa alasan yang dikemukakan mengenai penyebab mengapa kebanyakan
orang cenderung melupakan apa yang mereka dengar. Salah satu jawaban yang
menarik adalah karena adanya perbedaan antara kecepatan bicara guru dengan
tingkat kemampuan peserta didik mendengarkan apa yang disampaikan guru.
Kebanyakan guru berbicara sekitar 100-200 kata per menit, sementara anak didik
hanya mampu mendengarkan 50-100 kata per menitnya (setengah dari apa yang
dikemukakan guru), karena peserta didik mendengarkan pembicaraan guru sambil
berpikir. Kerja otak manusia tidak sama dengan tape recorder yang mampu merekam
suara sebanyak apa yang diucapkan dengan waktu yang sama dengan waktu
pengucapan. Otak manusia selalu mempertanyakan setiap informasi yang masuk ke
dalamnya, dan otak juga memproses setiap informasi yang ia terima, sehingga
perhatian tidak dapat tertuju pada stimulus secara menyeluruh. Hal ini menyebabkan
tidak semua yang dipelajari dapat diingat dengan baik.
Penambahan visual pada proses pembelajaran dapat
menaikkan ingatan sampai 171% dari ingatan semula. Dengan penambahan visual di
samping auditori dalam pembelajaran kesan yang masuk dalam diri anak didik
semakin kuat sehingga dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan hanya
menggunakan audio (pendengaran) saja. Hal ini disebabkan karena fungsi sensasi
perhatian yang dimiliki peserta didik saling menguatkan, apa yang didengar
dikuatkan oleh penglihatan (visual), dan apa yang dilihat dikuatkan oleh audio
(pendengaran). Dalam arti kata pada pembelajaran seperti ini sudah diikuti oleh
reinforcement yang sangat membantu
bagi pemahaman anak didik terhadap materi pembelajaran. [8]
B.
PEMBELAJARAN AL-QURAN
Ada banyak metode yang dapat
dilakukan dalam pembelajaran al-Quran, namun pada dasrnya metode-metode
tersebut merupakan metode-metode yang digambarkan dalam al-Quran sendiri. Dalam
penerapannya metode-metode tersebut tidak kaku, namun bersifat fleksibl., yang
intinya bagaimana suatu proses pembelajaran iti mampu mencapai tujuannya
sekaligus disajikan dalam situasi yang menarik, tidak bosan dan monoton.
1.
Metode Amtsal
Amtsal adalah bentuk jamak dari matsala.
Kata matsala sama dengan syabaha, baik lafadz maupun maknanya. Jadi arti
lughawi amtsal adalah membuat permisalan, perumpamaan dan bandungan
Manna Khalil[9] menyebutkan pengertian
amtsal al-Qur’an yaitu “menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang nebarik
dan padat serta mempunyai pengaruh yang dalam terhadap jiwa, baik berupa
tasybih maupun perkataan bebas (lepas, bukan tasybih)”. Sedangkan Abdurrahman
An-Nahlawi[10] memberikan pengertian “Matsal
adalah sifat sesuatu yang dapat menjelaskan dan menyingkap hakikat sesuatu
tersebut, atau apa yang dimaksud untuk memperjelas kandungannya, baik na’atnya
(sifat) maupun ahwalnya”.
Dari dua pengertian amtsal di atas, maka amtsal dapat disederhanakan
pengertiannya, yaitu mengumpamakan sesuatu yang abstrak dengan yang lain yang
lebih konkrit untuk mencapai tujuan dan atau manfaat dari perumpamaan tersebut.
Contoh amtsal dalam al-Qur’an adalah firman Allah;
öNßgè=sVtB È@sVyJx. Ï%©!$# ys%öqtGó$# #Y$tR !$£Jn=sù ôNuä!$|Êr& $tB ¼ã&s!öqym |=yds ª!$# öNÏdÍqãZÎ/ öNßgx.ts?ur Îû ;M»yJè=àß w tbrçÅÇö6ã ÇÊÐÈ
Perumpamaan
mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, Maka setelah api itu menerangi
sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan
mereka dalam kegelapan, tidak dapat Melihat.(Q.S. Al baqarah ayat 17)[11]
Dalam amtsal di atas, Allah menjelaskan hakikat, sifat dan keadaan
orang-orang munafik yang tidak dapat mengambil manfaat dan petunjuk dari Allah.
Mereka diibaratkan dengan orang yang menyalakan api, yang kemudian api itu
dipadamkan oleh Allah sehingga mereka kegelapan dan tidak dapat melihat apa-apa
lagi.
Adapun penerapan Metode amtsal,
misalkan guru Pendidikan Agama Islam di SMP akan menyampaikan materi pelajaran
dengan pokok bahasan tentang infak fi sabilillah ". Tujuan ini
adalah peserta didik diharapkan dapat memahami makna infaq yang benar sehingga peserta
didik mampu membedakan antara infaq di jalan Allah dengan infaq yang bukan di
jalan Allah dan mampu merangsang semangat para peserta didik untuk berinfaq
dengan cara yang benar dan menghindarkan diri dari praktek‑praktek berinfaq
yang salah.
Dengan perumpamaan ini, secara
teoritis akan mudah ditangkap oleh peserta didik sehingga mereka dengan mudah
mampu membedakan antara infaq fi sabililldh dengan infaq lainnya.
2.
Metode Qisah Qurani
Penyampaian ajaran Islam melalui
bentuk kisah dalam al-Quran cukup dominan sehingga kata kisah diabadikan dalam
sebuah surat, yaitu surat al‑Qashash yang artinya kisah‑kisah. Menurut penulis,
kisah‑kisah dalam al‑Quran selain sebagai materi pendidikan Islam, juga dapat
dijadikan sebagai salah satu metode dari sekian banyak metode mengajar yang
dapat kita gali dan kaji dalam kitab suci al‑Quran, khususnya untuk materi
Pendidikan Agama Islam dalam menanamkan nilai‑nilai keimanan. Sebagaimana Allah
telah mengajari Nabi Muhammad Saw. melalui kisah‑kisah para Nabi dan orang
orang saleh sebelumnya.
Kata kisah berasal dari bahasa
Arab, yakni dari kata qishah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi
kisah yang berarti cerita. Namun terdapat perbedaan yang prinsipil antara makna
kisah dalam bahasa, al‑Quran dengan kisah dalam bahasa Indonesia. Kisah dalam
bahasa al‑Quran bermakna sejarah (tarikh) yaitu peristiwa‑penistiwa yang
pemah terjadi di zaman dahulu. Sedangkan kisah dalam bahasa
Indonesia mengandung arti cerita‑cerita yang berbau mistik atau legenda.
Secara
etimologis kata qishah berasal
dari kata al-Qashshu, yang
artinya mencari jejak, seperti terungkap dalam kalimat Qashashtu atsarahu artinya
saya mencari jejaknya.[12]
Secara
terminologis, kata Qishah
al‑Quran mengandung dua makna yaitu, pertama: A1‑Qashas
fi al‑Quran yang artinya pemberitaan al‑Quran tentang hal ikhwal ummat
terdahulu, baik informasi tentang kenabian maupun tentang peristiwa‑peristiwa
yang terjadi pada umat terdahulu. Kedua, Qahshah al-Qur’an yang artinya
karakteristik kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an. Pengertian yang kedua inilah yang dimaksud kisah
sebagai metode pendidikan.[13]
Dalam pendidikan Islam, kisah‑kisah
dalam al‑Quran mempunya fungsi edukatif yang sangat berharga dalam suatu proses
penanaman nilai‑nilai ajaran Islam. Kisah‑kisah ini sulit dicari gantinya
kecuali diubah dalam cara penyampaian saja, yakni dengan bahasa lisan. Di
antara fungsi-fungsi edukatifnya, kiasa Qur’ani dapat dijadikan sebagai bahan
pelajaran sekaligus dapat dijadikan sebagai
metode pengajaran.
3.
Metode lbrah‑Mauidzah
Sebagai
individu, manusia merupakan kesatuan antara jiwa dan raga. Di dalam jiwa
manusia terdapat pembawaan yang dapat terpengaruh, baik oleh kata‑kata yang
tertulis maupun kata‑kata yang terdengar, yang membawanya ke arah yang benar
ataupun yang salah. Kata‑kata tersebut dapat membuka jalan ke dalam jiwa secara
langsung melalui pikiran dan perasaan, sehingga membuat pikiran dan perasaan
goyah, dan sampai pada perenungan secara mendalam (tafakur) serta
penghayatan yang melahirkan perbuatan‑perbuatan yang dilakukan secara sadar.
Dalam
mendidik jiwa manusia, ajaran Islam senantiasa menyesuaikan dengan potensi yang
ada dirinya. Salah satu ajaran al‑Quran yang berkenaan dengan cara mendidik
adalah mengambil pelajaran dari peristiwa‑peristiwa atau pengalaman‑pengalaman
orang lain yang disebut ibrah, atau melalui nasihat‑nasihat yang baik
yang dapat menyentuh perasaan murid yang disebut mauidzah
Firman Allah:
ôs)s9 c%x. Îû öNÎhÅÁ|Ás% ×ouö9Ïã Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# 3
Sungguh di dalam kisah‑kisah mereka itu terdapat ibrah
(pelajaran) bagi orang‑orangyang memiliki penglihatan (Q.S. Yusuf [12]: 111).
(#rçÉ9tFôã$$sù … Í<'ré'¯»t Ì»|Áö/F{$# ÇËÈ
‘…
Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang
mempunyai wawasan (Al-Hasyr [59] :2)
Ayat‑ayat
tersebut di atas mengingatkan manusia agar senantiasa, mengambil i’tibar
(pelajaran). Dilihat dari sudut paadagogis, ayat pertama menunjukkan tujuan.
Sedangkan dalam ayat yang kedua menunjukkan metodologis bahwa kita dianjurkan
untuk mengambil ibrah dengan jalan beri'tibar baik dari kisah, fenomena,
alam, maupun peristiwa sejarah. Karena melalui peristiwa fenomena alam dan
penstiwa sejarah, jiwa manusia (dalam hal ini peserta didik) dibawa pada
situasi yang khas dalam perasaan yaitu keluluhan perasaan. Keistimewaan dari
penstiwa‑peristiwa itu dapat menimbulkan suatu situasi yang khas di dalam
perasaan. Suatu peristiwa secara lengkap sangat membekas pada perasaan yang
mengirimkan suatu jawaban dan reaksi keras, yang lahir dari perasaan yang luluh
sebelumnya.
Sebagaimana
dijelaskan di atas, bahwa dalam mendidik peserta didik, Islam senantiasa
sejalan dengan unsur penciptaannya yakni akal dan perasaan. Karena itu, metode
yang dibawakannya senantiasa mengarah pada unsur‑unsur tersebut. Selain metode ibrah,
ada juga metode yang dapat menyentuh hati yang
mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendaki yaitu melalui nasihat‑nasihat,
yang disebut metode mauizhah.
Di antara
ayat al‑Quran yang melandasi penggunaan metode mauizhah antara lain :
x8çÅc£uçRur 3uô£ãù=Ï9 ÇÑÈ öÏj.xsù bÎ) ÏMyèxÿ¯R 3tø.Ïe%!$# ÇÒÈ
Dan kami akan memberi
kamu taufik ke jalan yang mudah. Oleh
sebab itu berikanlah peringatan Karena peringatan itu bermanfaat, (Q.S. Al-A’la [87]:
8-9)
Pengertian ibrah dalam al‑Quran
dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk mengambil pelajaran dari pengalaman
pengalaman orang lain atau dari peristiwa‑peristiwa yang terjadi pada masa
lampau melalui suatu proses berpikir secara mendalam, sehingga menimbulkan
kesadaran pada diri seseorang. Dari kesadaran itu akan muncul keinginan untuk
mengambil pelajaran yang baik dari pengalaman‑pengalaman orang lain atau
pengalaman dirinya.[14]
Abdurrahaman al‑Nahlawi[15] mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan ibrah
dan i’tibar adalah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia, untuk
mengetahui intisari suatu perkara yang disaksikan, diperhatikan, diinduksi,
ditimbang‑timbang, diukur, dan diputuskan oleh manusia secara nalar, sehingga
dapat mempengaruhi hati menjadi tunduk padanya, kepada perilaku berpikir dan
sosial yang sesuai. Selanjutnya beliau mendefinisikan mauizhah sebagai suatu
yang dapat mengingatkan seseorang akan apa yang dapat melembutkan kalbunya yang
berupa pahala atau siksa sehingga menimbulkan kesadaran pada dirinya Atau bisa
saja berbentuk sebagai nasihat dengan cara menyentuh kalbu.
Istilah Mauizhah disebut juga
sebagai al-wazhu yakni pemberian nasihat dan peringatan akan kebaikan dan
kebenaran dengan cara menyentuh kalbu dan menggugah untuk mengamalkannya.[16]
4.
Metode Tarhib wa at Tarhib
Allah menciptakan manusia sebagi makhluk yang itu
dengan dibekali berbagai potensi yang sempurna. Sebagian potensi itu terdapat
kecenderungan kepada kebaikan dan kesesatan. Namun demikian potensi dasar
adalah kecenderungan untuk berbuat kebaikan (Q.S. Ar Rum ayat 30).
Berdasarkan potensinya, manusia
selalu berusaha mencari kebenaran dan kebaikan, terutama bagi orang yang
menggunakan akal fikirannya secara benar dan jujur. Namun demikian manusia juga mempunyai
kecenderungan untuk untuk berbuat salah yang dapat mengotori jiwanya, yang akan
membawanya pada kehinaan baik di mata manusia terlebih di mata Allah Swt.
Kedua kecenderungan itu akan
mewarnai gejolak jiwa manusia dalam
kehidupannya, apakah ia cenderung pada kebaikan atau kepada kesesatan. Oleh
karena itu jiwa manusia akan senantiasa membutuhkan bimbingan dan tuntunan yang
benar. Ajaran Islam memberikan petunjuk pada manusia agar jiwa selalu cenderung
kepada kebaikan dan berjalan di atas kebenaran ilahi melalui berbbagi cara, di
antaranya melalui pendekatan targhib
(rangsangan) dan tarhib (ancaman).[17]
Metode targhib-tarhib pertama
kali diperkenalkan oleh Abdurrahman An-Nahlawi, pada mulanya baru bersifat
gagasan, yang kemudian dikembangkan oleh para ahli pendidikan Islam dan para
cendikiawan yang memilki perhatian besar terhadap pengembangan metodologi
pendidikan dan dakwah.
Kata targhib
berasal dari kata raghaba yang berarti
menyenangi, menyukai dan mencintai. Kemudian kata itu diubah menjadi kata benda
tarhib yang mengandung makna suatu harapan untuk memperoleh kesenangan,
kecintaan, kebahagiaan. Sedangkan istilah tarhib berasal dari kata rahaaba yang
berarti menakut-nakuti atau mengancam. Lalu kata itu diubah menjadi kata benda
menjadi tarhib yang berarti ancaman, hukuman.[18]
Tarhib
sebagai sebuah method mengandung makna sebagi suatu strategi atau cara untuk
meyakinkan seseorang terhadap kebenaran Allah melalui janji-janjinya yang
disertai bujukan dan rayuan untuk melakukan amal shaleh. Adabun Tarhib sebagai
method, adalah strategi untuk meyakinkan seseorang terhadap kebenaran Allah
melalui ancaman dengan siksaan sebagai akibat melakukan perbuatan yang dilarang
oleh Allah.
Metode ini
sangat cocok untuk mempengaruhi jiwa peserta didik karena kecintaan akan
keindahan, kenikmatan dan kesenangan hidup, serta rasa takut akan kepedihan dan
kesengsaraan merupakan naluri setiap insan. Singkatnya, method tarhib dan tarhib
adalah suatu method yang selaras dengan fitrah manusia.
5.
Metode Tajribi
Sebagian ulama salaf berpandangan
bahwa ilmu akan berkurang apabila tidak diamalkan, tidak disebarluaskan, atau
tidak diajarkan kepada orang lain. Melainkan akan bertambah kuat ilmu
pengetahuan itu apabila diamalkan, diajarkan kepada orang lain. Semakin banyak
mengamalkan serta mengajarkan kepada orang lain, maka akan semakin bertambah
dan berkembang pula ilmunya, namun sebaliknya apabila ilmu didiamkan maka ilmu
itu akan berkurang.
Latihan pengamalan dan pembiasaan
nilai-nilai ajaran Islam, diperintahkan di dalam al-Quran. Allah dan Rasul
telah memberikan tuntunan untuk menerapkan sesuatu perbuatan dengan cara
pembiasaan.
Tajribi sebagai suatu metode, difokuskan pada asfek
pembiasaan, artinya bukan merupakan simulasi dan demonstrasi melainkan praktek
langsung sesuai dengan ketentuan suatu praktek. Contoh peserta didik yang
diajari sholat dengan menggunakan method ini bukan dengan cara praktek yang
pura-pura di depan kelas, tapi secara langsung diajak shalt dzuhur, ashar,
maghrib, isya atau subuh.
Latihan pengamalan dalam method Tajribi
dapat meliputi : latihan dan
pengulangan, latihan menghapal, latihan berfikir untuk memperdalam iman,
latihan ibadah.[19]
Aplikasi method Tajribi dalam
proses bimbingan spiritual dapat berupa ajakan yang disertai dengan keteladanan
untuk melakukan suatu amalan tertentu yang ditetapkan dalam tujuan bimbingan
spiritual.
6.
Hiwar Qurani
Metode hiwar, dikenal juga dengan
metode dialog adalah metode menggunakan tanya jawab, apakah pembiacaran antara
dua orang atau lebih, dalam pembicaraan tersebut mempunym tujuan dan topik
pembicaraan tertentu. Metode dialog berusaha menghubungakn pemikiran
seseorang dengan orang lain, serta
mempunyai manfaat bagi pelaku dan pendengamya. Uraian tersebut memberi makna
bahwa dialog dilakukan oleh seseorang dengan orang lain, baik mendengar
langsung atau melalui bacaan.
Abdurrahman an‑Nahlawi mengatakan
pembaca dialog akan mendapat keuntungan berdasarkan karakteristik dialog, yaitu
topik dialog disajikan dengan pola dinamis sehinggaa materi tidak membosankan,
pembaca tertuntun untuk mengikuti dialog hingga selesai, melalui dialog
perasaan dan emosi pembaca akan terbangkitkan, topik pembicaraan disajikan
bersifat realistik dan manusiawi.[20] Metode dialog menmpati
posisi yang strategis dalam rangka dakwah maupoun pembelajaran, dan metode ini sering pula dilakukan oleh
Nabi Muhamad dengan para sahabatnya. Karena metode ini memberi
kesempatan kepada murid untuk bertanya secara internal tentang suatu masalah.
Mengaplikasikan
metode di atas dalam prakteknya harus disesuaikaan dengan kebutuhan, namun yang
paling penting adalah bagaimana mengefektifkan dan efesiensikan bimbingan
spiritual itu sendiri. Menurut Al-Gazali, [21]
di antara metode paling bijak dalam pelatihan kejiwaan (riyadhah) adalah jika
si murid tidak keberatan untuk meninggalkan yaitu dengan mengalihkan suatu
perangai untuk membersihkan penyakit hati yaitu dengan cara melakukan sesuatu
yang berlawanan dengan apa saja yang menjadi yang menjadi kegemaran dan
kecenderungan nafsu.
[1] QS. 15 : 9
[2] خيركم من تعلم القرآن وعلمه
[3] Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta, Andi Offset, 1997
[4] Hartono Strategi
Pembelajaran Active Learning, http://edu-articles.com/strategi-pembelajaran-active-learning/
[5] Long term memory merupakan kemampuan
mengingat dalam waktu yang lama, salah satu faktornya adalah karena adanya
suatu kesan yang mendalam tentang objek. Kebalikannya adalah short term memory.
[6]
Bandingkan pengertian akhlak yang dikemukakan olh EB Taylor
[7] Danah
Johar dan Ia Marshall, menyebutkan bahwa kecerdasan SQ Menurutnya
kecerdasan ini merupakan kecerdasan untuk menghadapai dan memecahkan persoalan
nilai dan makna. SQ telah menempatkan makna hidup yang lebih luas, lebih dari
yang lain. Bahkan, SQ merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan
kecerdasan Intelektual (IQ) dan kecerdasan Emosional (EQ) secara efektif. SQ merupakan
kecerdasan tertinggi (Memanfa’atkan kecerdasan Siritual dalam berpikir
Integralistik dan Holistik untuk Memaknai kehidupan, (Bandung, Mizan : 2001)
[9] Dikutif
oleh Syahidin, Ibid, hlm.109
[10]
Abdurahman An-Nahlawi, Ibid, hlm. 350
[11] Depag
RI, Ibid , hlm. 11
[12]
Syahidin, Ibid. hlm.128
[13]Ibid. hlm.129-130
[14] Ibid
.hlm.150
[15] Abdur
Rahman An-Nahlawi, Ibid. hlm. 390
[16] Ahmad
Tafsir, Ilmu Dalam Perspektif Islam (Bandung : Rosda Karya, 1992), hlm.
145
[17]
Syahidin, Ibid. hlm.. 168
[18] Ibid.170
[19] Ibid.193-203
[20] Abdurrahman An-Nahlawi, Ibid. hlm..
205
[21]
Al-Gazaly, Mengobati penyakit hati, Membentuk Akhlak Mulia, Terj. Muhamad al-Baqir, (Bandung : Karisma,
tahun 1997), hlm.. 65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar