Judul

Kamis, 31 Januari 2013

APLIKASI PEMANFATAN MULTI MEDIA DALAM PEMBELAJARAN AL-QURAN


Karya : Iis Suryatini

BAB I

A.      Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang mengandung ajaran Allah yang luhur dan sempurna. Kesempurnaan al-Quran akan tetap terjaga sampai kapanpun baik tulisan maupun maknanya, karena al-Quran dijaga oleh Allah karena Allahlah menurunkannya[1]. Bagi siapa saja yang membaca untuk dipelajari, dipahami, dihayati serta diamalkan maka beruntunglah orang yang seperti itu, dan barang siapa yang enggan serta jauh dari ayat-ayat al-Quran, maka merugila dia. Sebaik-baiknya orang adalah orang yang belajar al-Quran dan mengajarkannya kepada orang lain[2].
Kemampuan memahami al-Quran merupakan kewajiban setiap muslim, terlebih kemampuan membacanya. Hal ini terkait dengan salah satu pelaksanaan kewajiban seorang muslim dalam melaksanakan shalat. Apabila seorang muslim belum bisa membaca al-Quran maka kemungkinan besar membaca ayat al-Qurannnya pun minimum dari apa yang dapat dihapal. Persoalan kemampuan baca al-Quran merupakan masalah serius yang wajib dimiliki.
Bagi peserta didik SMP yang rata-tara telah memasuki akil baligh sejatinya telah memamahami dasar-sadar pengetahuan tentang al-Quran terutama kemampuan membacanya. Namun kenyataan lain, dari data pelaksanaan ujian praktek kemampuan memmbaca al-Quran peserta didik SMP menunjukkan lemahnya nya kemampuan mereka dalam membaca al-Quran, terlebih lagi dari hasil analisis soal-soal ujian akhir menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan menjawab soal-soal yang di dalamnya terdapat ayat al-Quran sangat minim hasilnya. Pepatah bilang kemampuan peserta didik SMP dengan al-Quran ada umumnya jauh panggangb dari api.
Keadaan ini secara prinsip menjadi keprihatinan orang tua, guru, bangsa terutama agama. Pada secara tersurat dalam system pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Salah satu aturan yang mengatur pendidikan tercantun dalam permendiknas no. 22 tahun 2006 tentang standar isi, kemudian dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005. Dalam lampiran peraturan ini disebutkan kelompok mata pelajaran dengan cakupannya untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang meliputi; (1) Agama dan Akhlak Mulia, (2) Kewarganega-raan dan Kepribadian, (3)  Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (4) Estetika, dan (5) Jasmani, Olahraga dan Kesehatan. Cakupan dari kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Dalam rakteknya mata pelajaran PAI di sekolah terdiri dari 5 hal, yaitu al-Quran, keimanan, syariah, akhlak, sejarah. Untuk mencapai cakupan materi agama pada sekolah pada umumnya hanya tersedia alokasi 2 jam pelajaran yang di dalamnya termasuk wilayah al-Quran.

B.       Identifikasi dan Rumusan masalah
Melihat fakta-fakta di atas, penulis mengkalsifikasikan beberapa pokok persoalan. Pertama, bahwa kemampuan membaca dan memahami al-Quran merupakan kemampuan yang mutlak harus dimiliki oleh peserta didik usia SMP; kedua, adanya fakta bahwa kemampuan membaca dan memahami al-Quran pada anak usia SMP secara umum rendah; ketiga mata pelajaran PAI merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah pada tingkat SMP dengan alokasi waktu yang sangat kurang yakni hanya 2 jam pelajaran pada setiap minggunya.
Rendahnya kemampuan peserta didik dalam membaca dan memahami al-Quran banyak sekali faktornya, di antaranya; lemahnya minat dan motivasi peserta didik dalam pembelajaran al-Quran, proses pembelajaran yang cenderung monoton, dan kurangnya fasilitas yang membantu dalam pembelajaran al-Quran khususnya dan PAI pada umumnya
Persolan inilah yang mendorong penulis menyampaikan suatu konsep pembelajaran al-Quran di sekolah berbasis multi media, yang diangkat dalam judul ”Aplikasi pemanfatan multi media dalam pembelajaran al-Quran”

C.       Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.             Meningkatkan minat dan motivasi belajar dalam pembelajaran al-Quran
2.             Menumbuhkan lingkungan pembelajaran yang variatif, inovatif dan menyenangkan
3.              Mempermudah pengadaan alat bantu pembelajaran secara efektif


BAB II
PENGGUNAAN MULTI MEDIA DALAM PEMBELAJARAN AL-QURAN

A.           MULTI MEDIA DALAM PEMBELAJARAN
Penelitian mutakhir tentang otak menyebutkan bahwa belahan kanan korteks otak manusia bekerja 10.000 kali lebih cepat dari belahan kiri otak sadar. Pemakaian bahasa membuat orang berpikir dengan kecepatan kata. Otak limbik (bagian otak yang lebih dalam) bekerja 10.000 kali lebih cepat dari korteks otak kanan, serta mengatur dan mengarahkan seluruh proses otak kanan. Oleh karena itu sebagian proses mental jauh lebih cepat dibanding pengalaman atau pemikiran sadar seseorang (Win Wenger, 2003:12-13). Strategi pembelajaran konvensional pada umumnya lebih banyak menggunakan belahan otak kiri (otak sadar) saja, sementara belahan otak kanan kurang diperhatikan. Pada pembelajaran dengan Active learning (belajar aktif) pemberdayaan otak kiri dan kanan sangat dipentingkan.
Thorndike mengemukakan bahwa ada 3 hukum belajar, yaitu :
1.    Law of readiness, yaitu kesiapan seseorang untuk berbuat dapat memperlancar hubungan antara stimulus dan respons.
2.    Law of exercise, yaitu dengan adanya ulangan-ulangan yang selalu dikerjakan maka hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi lancer
3.    Law of effect, yaitu hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi lebih baik jika dapat menimbulkan hal-hal yang menyenangkan, dan hal ini cenderung akan selalu diulang.[3]
Beberapa penelitian membuktikan bahwa perhatian anak didik berkurang bersamaan dengan berlalunya waktu. Penelitian Pollio (1984) menunjukkan bahwa peserta didik dalam ruang kelas hanya memperhatikan pelajaran sekitar 40% dari waktu pembelajaran yang tersedia. Sementara penelitian McKeachie (1986) menyebutkan bahwa dalam sepuluh menit pertama perhatian peserta didik dapat mencapai 70%, dan berkurang sampai menjadi 20% pada waktu 20 menit terakhir.[4]
Oleh karena itu merupakan hal penting dalam pembelajaran PAI untuk menggali potensi anak dengan melibatkan serta memposisikannya sebagai salah satu sumber belajar sehingga  anak merasa dighargai, belajar cenderung efektif serta bermakna bagi peserta didik itu sendiri, yaitu dengan memfungsikan seluruh mental dan fisik peserta didik; baik (1) pikiran, (2) pancaindera, (3) organ-organ tubuh, (4) perasaan dan hati nurani, maupun (5)  intuisinya. Dengan cara pelibatan peserta didik dalam pembelajaran ini akan semakin menarik minat serta perhatian dalam belajar, serta akan terjadinya long term memory.[5]
Terkait dengan ini, Gagne menyebutkan bahwa proses pembelajaran dimulai dari hal-hal yang sederhana menuju pada persoalan yang lebih abstrak (gambar i). Salah satu upaya dalam pelibatan anak yaitu dengan mengajak anak berpikir kritis terhadap suatu keadaan tertentu, yaitu dengan mengomentari, mengulas dan ikut memberi kontribusi dalam memecahkan persoalan-persolan.













                                            Gambar 1

Langkah penting yang tidak boleh terlupakan dalam pembelajaran PAI adalah bagaimana materi yang telah dipahami itu (learning to know) kemudian dapat menjadi “kesatuan diri” bersatu dengan ruh (learning to be). Proses ini yang disebut dengan internalisasi, yaitu suatu keadaan di mana apa yang diketahui oleh akal pikiran menjadi bagian dalam diri peserta didik. Learning to do mengandung arti bagaimana bahan ajar yang telah menjadi bagian diri mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa ada paksaan maupun ancaman dari yang lain, melainkan sudah menjadi kebutuhan pokok dirinya tanpa dipikir maupun ditimbang-timbang[6]. Inilah sesi yang tidak mudah melakukannya, juga tidak mudah mengukur keberhasilannya. Oleh karena itu pendidikan agama yang sarat dengan nilai dan makna ini perlu diupayakan menjadi bagian penting dalam diri peserta didik, karena penanaman makna dan nilai merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran PAI di sekolah, juga sebagai pembinaan kecerdasan spiritual bagi anak. [7]
Proses pembelajaran pada dasarnya merupakan pemberian stimulus-stimulus kepada anak didik, agar terjadinya respons yang positif pada diri anak didik. Kesediaan dan kesiapan mereka dalam mengikuti proses demi proses dalam pembelajaran akan mampu menimbulkan respons yang baik terhadap stimulus yang mereka terima dalam proses pembelajaran. Respons akan menjadi kuat jika stimulusnya juga kuat. Ulangan-ulangan terhadap stimulus dapat memperlancar hubungan antara stimulus dan respons, sehingga respons yang ditimbulkan akan menjadi kuat. Hal ini akan memberi kesan yang kuat pula pada diri anak didik, sehingga mereka akan mampu mempertahankan respons tersebut dalam memory (ingatan) nya. Hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi lebih baik kalau dapat menghasilkan hal-hal yang menyenangkan. Efek menyenangkan yang ditimbulkan stimulus akan mampu memberi kesan yang mendalam pada diri anak didik, sehingga mereka cenderung akan mengulang aktivitas tersebut. Akibat dari hal ini adalah anak didik mampu mempertahan stimulus dalam memory mereka dalam waktu yang lama (longterm memory), sehingga mereka mampu merecall apa yang mereka peroleh dalam pembelajaran tanpa mengalami hambatan apapun.
Kondisi tersebut di atas merupakan kondisi umum yang sering terjadi di lingkungan sekolah. Hal ini menyebabkan seringnya terjadi kegagalan dalam dunia pendidikan kita, terutama disebabkan anak didik di ruang kelas lebih banyak menggunakan indera pendengarannya dibandingkan visual, sehingga apa yang dipelajari di kelas tersebut cenderung untuk dilupakan. Sebagaimana yang diungkapkan Konfucius :
1.             Apa yang saya dengar, saya lupa;
2.             Apa yang saya lihat, saya ingat;
3.             Apa yang saya lakukan, saya paham;
Ketiga pernyataan ini menekankan pada pentingnya belajar aktif agar apa yang dipelajari di bangku sekolah tidak menjadi suatu hal yang sia-sia. Ungkapan di atas sekaligus menjawab permasalahan yang sering dihadapi dalam proses pembelajaran, yaitu tidak tuntasnya penguasaan anak didik terhadap materi pembelajaran. Mel Silberman (2001) memodifikasi dan memperluas pernyataan Confucius di atas menjadi apa yang disebutnya dengan belajar aktif (active learning), yaitu :
1.             Apa yang saya dengar, saya lupa;
2.             Apa yang saya dengar dan lihat, saya ingat sedikit;
3.             Apa yang saya dengar, lihat dan tanyakan atau diskusikan dengan beberapa teman lain, saya mulai paham;
4.             Apa yang saya dengar, lihat, diskusikan dan lakukan, saya memperoleh pengetahuan dan keterampilan;
5.             Apa yang saya ajarkan pada orang lain, saya kuasai;
Ada beberapa alasan yang dikemukakan mengenai penyebab mengapa kebanyakan orang cenderung melupakan apa yang mereka dengar. Salah satu jawaban yang menarik adalah karena adanya perbedaan antara kecepatan bicara guru dengan tingkat kemampuan peserta didik mendengarkan apa yang disampaikan guru. Kebanyakan guru berbicara sekitar 100-200 kata per menit, sementara anak didik hanya mampu mendengarkan 50-100 kata per menitnya (setengah dari apa yang dikemukakan guru), karena peserta didik mendengarkan pembicaraan guru sambil berpikir. Kerja otak manusia tidak sama dengan tape recorder yang mampu merekam suara sebanyak apa yang diucapkan dengan waktu yang sama dengan waktu pengucapan. Otak manusia selalu mempertanyakan setiap informasi yang masuk ke dalamnya, dan otak juga memproses setiap informasi yang ia terima, sehingga perhatian tidak dapat tertuju pada stimulus secara menyeluruh. Hal ini menyebabkan tidak semua yang dipelajari dapat diingat dengan baik.
Penambahan visual pada proses pembelajaran dapat menaikkan ingatan sampai 171% dari ingatan semula. Dengan penambahan visual di samping auditori dalam pembelajaran kesan yang masuk dalam diri anak didik semakin kuat sehingga dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan hanya menggunakan audio (pendengaran) saja. Hal ini disebabkan karena fungsi sensasi perhatian yang dimiliki peserta didik saling menguatkan, apa yang didengar dikuatkan oleh penglihatan (visual), dan apa yang dilihat dikuatkan oleh audio (pendengaran). Dalam arti kata pada pembelajaran seperti ini sudah diikuti oleh reinforcement yang sangat membantu bagi pemahaman anak didik terhadap materi pembelajaran. [8]




B.            PEMBELAJARAN AL-QURAN
Ada banyak metode yang dapat dilakukan dalam pembelajaran al-Quran, namun pada dasrnya metode-metode tersebut merupakan metode-metode yang digambarkan dalam al-Quran sendiri. Dalam penerapannya metode-metode tersebut tidak kaku, namun bersifat fleksibl., yang intinya bagaimana suatu proses pembelajaran iti mampu mencapai tujuannya sekaligus disajikan dalam situasi yang menarik, tidak bosan dan monoton.
1.        Metode Amtsal
Amtsal adalah bentuk jamak dari matsala. Kata matsala sama dengan syabaha, baik lafadz maupun maknanya. Jadi arti lughawi amtsal adalah membuat permisalan, perumpamaan dan bandungan
Manna Khalil[9] menyebutkan pengertian amtsal al-Qur’an yaitu “menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang nebarik dan padat serta mempunyai pengaruh yang dalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih maupun perkataan bebas (lepas, bukan tasybih)”. Sedangkan Abdurrahman An-Nahlawi[10] memberikan pengertian “Matsal adalah sifat sesuatu yang dapat menjelaskan dan menyingkap hakikat sesuatu tersebut, atau apa yang dimaksud untuk memperjelas kandungannya, baik na’atnya (sifat) maupun ahwalnya”.
Dari dua pengertian amtsal di atas, maka amtsal dapat disederhanakan pengertiannya, yaitu mengumpamakan sesuatu yang abstrak dengan yang lain yang lebih konkrit untuk mencapai tujuan dan atau manfaat dari perumpamaan tersebut. Contoh amtsal dalam al-Qur’an adalah firman Allah;
öNßgè=sVtB È@sVyJx. Ï%©!$# ys%öqtGó$# #Y$tR !$£Jn=sù ôNuä!$|Êr& $tB ¼ã&s!öqym |=ydsŒ ª!$# öNÏdÍqãZÎ/ öNßgx.ts?ur Îû ;M»yJè=àß žw tbrçŽÅÇö6ムÇÊÐÈ
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat Melihat.(Q.S. Al baqarah ayat 17)[11]
Dalam amtsal di atas, Allah menjelaskan hakikat, sifat dan keadaan orang-orang munafik yang tidak dapat mengambil manfaat dan petunjuk dari Allah. Mereka diibaratkan dengan orang yang menyalakan api, yang kemudian api itu dipadamkan oleh Allah sehingga mereka kegelapan dan tidak dapat melihat apa-apa lagi.
Adapun penerapan Metode amtsal, misalkan guru Pendidikan Agama Islam di SMP akan menyampaikan materi pelajaran dengan pokok bahasan tentang infak fi sabilillah ". Tujuan ini adalah peserta didik diharapkan dapat memahami makna infaq yang benar sehingga peserta didik mampu membedakan antara infaq di jalan Allah dengan infaq yang bukan di jalan Allah dan mampu merangsang semangat para peserta didik untuk berinfaq dengan cara yang benar dan menghindarkan diri dari praktek‑praktek berinfaq yang salah.
Dengan perumpamaan ini, secara teoritis akan mudah ditangkap oleh peserta didik sehingga mereka dengan mudah mampu membedakan antara infaq fi sabililldh dengan infaq lainnya.

2.        Metode Qisah Qurani
Penyampaian ajaran Islam melalui bentuk kisah dalam al­-Quran cukup dominan sehingga kata kisah diabadikan dalam sebuah surat, yaitu surat al‑Qashash yang artinya kisah‑kisah. Menurut penulis, kisah‑kisah dalam al‑Quran selain sebagai materi pendidikan Islam, juga dapat dijadikan sebagai salah satu metode dari sekian banyak metode mengajar yang dapat kita gali dan kaji dalam kitab suci al‑Quran, khususnya untuk materi Pendidikan Agama Islam dalam menanamkan nilai‑nilai keimanan. Sebagaimana Allah telah mengajari Nabi Muhammad Saw. melalui kisah‑kisah para Nabi dan orang orang saleh sebelumnya.
Kata kisah berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata qishah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kisah yang berarti cerita. Namun terdapat perbedaan yang prinsipil antara makna kisah dalam bahasa, al‑Quran dengan kisah dalam bahasa Indonesia. Kisah dalam bahasa al‑Quran bermakna sejarah (tarikh) yaitu peristiwa‑penistiwa yang pemah terjadi di zaman dahulu. Sedangkan kisah dalam bahasa Indonesia mengandung arti cerita‑cerita yang berbau mistik atau legenda.
Secara etimologis kata qishah berasal dari kata al-Qashshu, yang artinya mencari jejak, seperti terungkap dalam kalimat Qashashtu atsarahu artinya saya mencari jejaknya.[12]
Secara terminologis, kata Qishah al‑Quran mengandung dua makna yaitu, pertama: A1‑Qashas fi al‑Quran yang artinya pemberitaan al‑Quran tentang hal ikhwal ummat terdahulu, baik informasi tentang kenabian maupun tentang peristiwa‑peristiwa yang terjadi pada umat terdahulu. Kedua, Qahshah al-Qur’an yang artinya karakteristik kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an.  Pengertian yang kedua inilah yang dimaksud kisah sebagai metode pendidikan.[13]
Dalam pendidikan Islam, kisah‑kisah dalam al‑Quran mempunya fungsi edukatif yang sangat berharga dalam suatu proses penanaman nilai‑nilai ajaran Islam. Kisah‑kisah ini sulit dicari gantinya kecuali diubah dalam cara penyampaian saja, yakni dengan bahasa lisan. Di antara fungsi-fungsi edukatifnya, kiasa Qur’ani dapat dijadikan sebagai bahan pelajaran sekaligus dapat dijadikan sebagai  metode pengajaran.

3.        Metode lbrah‑Mauidzah
Sebagai individu, manusia merupakan kesatuan antara jiwa dan raga. Di dalam jiwa manusia terdapat pembawaan­ yang dapat terpengaruh, baik oleh kata‑kata yang tertulis maupun kata‑kata yang terdengar, yang membawanya ke arah yang benar ataupun yang salah. Kata‑kata tersebut dapat membuka jalan ke dalam jiwa secara langsung melalui pikiran dan perasaan, sehingga membuat pikiran dan perasaan goyah, dan sampai pada perenungan secara mendalam (tafakur) serta penghayatan yang melahirkan perbuatan‑perbuatan yang dilakukan secara sadar.
Dalam mendidik jiwa manusia, ajaran Islam senantiasa menyesuaikan dengan potensi yang ada dirinya. Salah satu ajaran al‑Quran yang berkenaan dengan cara mendidik adalah mengambil pelajaran dari peristiwa‑peristiwa atau pengalaman‑pengalaman orang lain yang disebut ibrah, atau melalui nasihat‑nasihat yang baik yang dapat menyentuh perasaan murid yang disebut mauidzah
Firman Allah:
ôs)s9 šc%x. Îû öNÎhÅÁ|Ás% ×ouŽö9Ïã Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# 3
Sungguh di dalam kisah‑kisah mereka itu  terdapat ibrah (pelajaran) bagi orang‑orangyang memiliki penglihatan (Q.S. Yusuf [12]: 111).
 (#rçŽÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»tƒ ̍»|Áö/F{$# ÇËÈ
‘… Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan (Al-Hasyr  [59] :2)
Ayat‑ayat tersebut di atas mengingatkan manusia agar senantiasa, mengambil i’tibar (pelajaran). Dilihat dari sudut paadagogis, ayat pertama menunjukkan tujuan. Sedangkan dalam ayat yang kedua menunjukkan metodologis bahwa kita dianjurkan untuk mengambil ibrah dengan jalan beri'tibar baik dari kisah, fenomena, alam, maupun peristiwa sejarah. Karena melalui peristiwa fenomena alam dan penstiwa sejarah, jiwa manusia (dalam hal ini peserta didik) dibawa pada situasi yang khas dalam perasaan yaitu keluluhan perasaan. Keistime­waan dari penstiwa‑peristiwa itu dapat menimbulkan suatu situasi yang khas di dalam perasaan. Suatu peristiwa secara lengkap sangat membekas pada perasaan yang mengirimkan suatu jawaban dan reaksi keras, yang lahir dari perasaan yang luluh sebelumnya.
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa dalam mendidik peserta didik, Islam senantiasa sejalan dengan unsur penciptaannya yakni akal dan perasaan. Karena itu, metode yang dibawakannya senantiasa mengarah pada unsur‑unsur tersebut. Selain metode ibrah, ada juga metode yang dapat menyentuh hati yang  mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendaki yaitu melalui nasihat‑nasihat, yang disebut metode mauizhah.
Di antara ayat al‑Quran yang melandasi penggunaan metode mauizhah antara lain :
x8çŽÅc£uŠçRur 3uŽô£ãù=Ï9 ÇÑÈ öÏj.xsù bÎ) ÏMyèxÿ¯R 3tø.Ïe%!$# ÇÒÈ
Dan kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah.  Oleh sebab itu berikanlah peringatan Karena peringatan itu bermanfaat, (Q.S. Al-A’la [87]: 8-9)
Pengertian ibrah dalam al‑Quran dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk mengambil pelajaran dari pengalaman­ pengalaman orang lain atau dari peristiwa‑peristiwa yang terjadi pada masa lampau melalui suatu proses berpikir secara mendalam, sehingga menimbulkan kesadaran pada diri seseorang. Dari kesadaran itu akan muncul keinginan untuk mengambil pelajaran yang baik dari pengalaman‑pengalaman orang lain atau pengalaman dirinya.[14]
Abdurrahaman al‑Nahlawi[15]  mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan ibrah dan i’tibar adalah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia, untuk mengetahui intisari suatu perkara yang disaksikan, diperhatikan, diinduksi, ditimbang‑timbang, diukur, dan diputuskan oleh manusia secara nalar, sehingga dapat mempengaruhi hati menjadi tunduk padanya, kepada perilaku berpikir dan sosial yang sesuai. Selanjutnya beliau mendefinisikan mauizhah sebagai suatu yang dapat mengingatkan seseorang akan apa yang dapat melembutkan kalbunya yang berupa pahala atau siksa sehingga menimbulkan kesadaran pada dirinya Atau bisa saja berbentuk sebagai nasihat dengan cara menyentuh kalbu.
Istilah Mauizhah disebut juga sebagai al­-wazhu yakni pemberian nasihat dan peringatan akan kebaikan dan kebenaran dengan cara menyentuh kalbu dan menggugah untuk mengamalkannya.[16]

4.        Metode Tarhib wa at Tarhib
Allah  menciptakan manusia sebagi makhluk yang itu dengan dibekali berbagai potensi yang sempurna. Sebagian potensi itu terdapat kecenderungan kepada kebaikan dan kesesatan. Namun demikian potensi dasar adalah kecenderungan untuk berbuat kebaikan (Q.S. Ar Rum ayat 30).
Berdasarkan potensinya, manusia selalu berusaha mencari kebenaran dan kebaikan, terutama bagi orang yang menggunakan akal fikirannya secara benar dan jujur.  Namun demikian manusia juga mempunyai kecenderungan untuk untuk berbuat salah yang dapat mengotori jiwanya, yang akan membawanya pada kehinaan baik di mata manusia terlebih di mata Allah Swt.
Kedua kecenderungan itu akan mewarnai gejolak jiwa  manusia dalam kehidupannya, apakah ia cenderung pada kebaikan atau kepada kesesatan. Oleh karena itu jiwa manusia akan senantiasa membutuhkan bimbingan dan tuntunan yang benar. Ajaran Islam memberikan petunjuk pada manusia agar jiwa selalu cenderung kepada kebaikan dan berjalan di atas kebenaran ilahi melalui berbbagi cara, di antaranya melalui pendekatan  targhib (rangsangan) dan tarhib (ancaman).[17]
Metode targhib-tarhib pertama kali diperkenalkan oleh Abdurrahman An-Nahlawi, pada mulanya baru bersifat gagasan, yang kemudian dikembangkan oleh para ahli pendidikan Islam dan para cendikiawan yang memilki perhatian besar terhadap pengembangan metodologi pendidikan dan dakwah.
Kata targhib berasal dari kata raghaba  yang berarti menyenangi, menyukai dan mencintai. Kemudian kata itu diubah menjadi kata benda tarhib yang mengandung makna suatu harapan untuk memperoleh kesenangan, kecintaan, kebahagiaan. Sedangkan istilah tarhib berasal dari kata rahaaba yang berarti menakut-nakuti atau mengancam. Lalu kata itu diubah menjadi kata benda menjadi tarhib yang berarti ancaman, hukuman.[18]
Tarhib sebagai sebuah method mengandung makna sebagi suatu strategi atau cara untuk meyakinkan seseorang terhadap kebenaran Allah melalui janji-janjinya yang disertai bujukan dan rayuan untuk melakukan amal shaleh. Adabun Tarhib sebagai method, adalah strategi untuk meyakinkan seseorang terhadap kebenaran Allah melalui ancaman dengan siksaan sebagai akibat melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah.
Metode ini sangat cocok untuk mempengaruhi jiwa peserta didik karena kecintaan akan keindahan, kenikmatan dan kesenangan hidup, serta rasa takut akan kepedihan dan kesengsaraan merupakan naluri setiap insan. Singkatnya, method tarhib dan tarhib adalah suatu method yang selaras dengan fitrah manusia.


5.        Metode Tajribi
Sebagian ulama salaf berpandangan bahwa ilmu akan berkurang apabila tidak diamalkan, tidak disebarluaskan, atau tidak diajarkan kepada orang lain. Melainkan akan bertambah kuat ilmu pengetahuan itu apabila diamalkan, diajarkan kepada orang lain. Semakin banyak mengamalkan serta mengajarkan kepada orang lain, maka akan semakin bertambah dan berkembang pula ilmunya, namun sebaliknya apabila ilmu didiamkan maka ilmu itu akan berkurang.
Latihan pengamalan dan pembiasaan nilai-nilai ajaran Islam, diperintahkan di dalam al-Quran. Allah dan Rasul telah memberikan tuntunan untuk menerapkan sesuatu perbuatan dengan cara pembiasaan.
 Tajribi  sebagai suatu metode, difokuskan pada asfek pembiasaan, artinya bukan merupakan simulasi dan demonstrasi melainkan praktek langsung sesuai dengan ketentuan suatu praktek. Contoh peserta didik yang diajari sholat dengan menggunakan method ini bukan dengan cara praktek yang pura-pura di depan kelas, tapi secara langsung diajak shalt dzuhur, ashar, maghrib, isya atau subuh.
Latihan pengamalan dalam method Tajribi  dapat meliputi : latihan dan pengulangan, latihan menghapal, latihan berfikir untuk memperdalam iman, latihan ibadah.[19]
Aplikasi method Tajribi   dalam proses bimbingan spiritual dapat berupa ajakan yang disertai dengan keteladanan untuk melakukan suatu amalan tertentu yang ditetapkan dalam tujuan bimbingan spiritual.

6.        Hiwar Qurani
Metode hiwar, dikenal juga dengan metode dialog adalah metode menggunakan tanya jawab, apakah pembiacaran antara dua orang atau lebih, dalam pembicaraan tersebut mempunym tujuan dan topik pembicaraan tertentu. Metode dialog berusaha menghubungakn pemikiran seseorang  dengan orang lain, serta mempunyai manfaat bagi pelaku dan pendengamya. Uraian tersebut memberi makna bahwa dialog dilakukan oleh seseorang dengan orang lain, baik mendengar langsung atau melalui bacaan.
Abdurrahman an‑Nahlawi mengatakan pembaca dialog akan mendapat keuntungan berdasarkan karakteristik dialog, yaitu topik dialog disajikan dengan pola dinamis sehinggaa materi tidak membosankan, pembaca tertuntun untuk mengikuti dialog hingga selesai, melalui dialog perasaan dan emosi pembaca akan terbangkitkan, topik pembicaraan disajikan bersifat realistik dan manusiawi.[20] Metode dialog menmpati posisi yang strategis dalam rangka dakwah maupoun pembelajaran,  dan metode ini sering pula dilakukan oleh Nabi Muhamad dengan para sahabatnya. Karena metode ini memberi kesempatan kepada murid untuk bertanya secara internal tentang suatu masalah.
Mengaplikasikan metode di atas dalam prakteknya harus disesuaikaan dengan kebutuhan, namun yang paling penting adalah bagaimana mengefektifkan dan efesiensikan bimbingan spiritual itu sendiri. Menurut Al-Gazali, [21] di antara metode paling bijak dalam pelatihan kejiwaan (riyadhah) adalah jika si murid tidak keberatan untuk meninggalkan yaitu dengan mengalihkan suatu perangai untuk membersihkan penyakit hati yaitu dengan cara melakukan sesuatu yang berlawanan dengan apa saja yang menjadi yang menjadi kegemaran dan kecenderungan nafsu.


[1]  QS. 15 : 9
[2] خيركم من تعلم القرآن وعلمه
[3] Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta, Andi Offset, 1997
[4]  Hartono Strategi Pembelajaran Active Learning, http://edu-articles.com/strategi-pembelajaran-active-learning/
[5]  Long term memory merupakan kemampuan mengingat dalam waktu yang lama, salah satu faktornya adalah karena adanya suatu kesan yang mendalam tentang objek. Kebalikannya adalah short term memory.
[6]  Bandingkan pengertian akhlak yang dikemukakan olh EB Taylor
[7]  Danah Johar dan Ia Marshall, menyebutkan bahwa kecerdasan SQ Menurutnya kecerdasan ini merupakan kecerdasan untuk menghadapai dan memecahkan persoalan nilai dan makna. SQ telah menempatkan makna hidup yang lebih luas, lebih dari yang lain. Bahkan, SQ merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan kecerdasan Intelektual (IQ) dan kecerdasan Emosional (EQ) secara efektif. SQ merupakan kecerdasan tertinggi (Memanfa’atkan kecerdasan Siritual dalam berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai kehidupan, (Bandung,  Mizan : 2001)
[9] Dikutif oleh Syahidin,  Ibid, hlm.109
[10] Abdurahman An-Nahlawi, Ibid, hlm. 350
[11] Depag RI, Ibid , hlm. 11
[12] Syahidin,  Ibid.  hlm.128
[13]Ibid. hlm.129-130
[14] Ibid .hlm.150
[15] Abdur Rahman An-Nahlawi, Ibid. hlm. 390
[16] Ahmad Tafsir, Ilmu Dalam Perspektif Islam (Bandung : Rosda Karya, 1992), hlm. 145
[17] Syahidin,  Ibid. hlm.. 168
[18] Ibid.170
[19] Ibid.193-203
[20]  Abdurrahman An-Nahlawi, Ibid. hlm.. 205
[21] Al-Gazaly, Mengobati penyakit hati, Membentuk Akhlak Mulia,  Terj. Muhamad al-Baqir, (Bandung : Karisma, tahun 1997), hlm.. 65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers