‘ILM AMTSÂL AL-QURÂN
Oleh; Iis Suryatini
A.
Pendahuluan
Sejak jaman Jahiliyyah,
bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang gemar berbicara fasih, membuat
syair-syair yang indah bahkan syair-syair itu dilombakan dan merupakan kebanggaan
bagi mereka apalagi kalau hasil karyanya digantung di depan ka’bah. Kemampuan dalam kelincahan dan kelancaran lidahnya
masih terus bertambah agar lebih fasih lagi, hal ini terdorong keadaan
sekitarnya terutama agar mereka dapat merangkai kata yang indah dan membuat
ungkapan yang shârih.[1] Kemampuan ini terpeliharanya kefasihan
yang ada pada bangsa Arab.
Modal kefasihan yang mereka miliki adalah untuk kehidupan mereka. Selain itu
modal-modal tersebut amat penting dalam berbagai keperluan, di antaranya untuk
berpidato, mufakharah (kata-kata sanjungan) dan menyampaikan kata-kata
hikmah dan amtsâl. Untuk yang terakhir ini mengandung makna bahwa
kata-kata hikmah mengandung arti pesan yang baik dan mengandung nasihat singkat
dan tepat, sementara amtsâl
mengandung makna kata-kata singkat, tepat, jitu dan menuju sasaran.[2] Kata-kata yang
mengandung hikmah dan amtsâl ini
hanya dapat dibuat oleh orang-orang yang ahli dan cerdik pada saat itu.
Demikian
keadaan bangsa Arab dalam hal kemampuan membuat kata-kata yang dirangkai
dalam syair-syair yang terkenal sehingga menjadi bagian dari karakter yang
mereka miliki saat itu.
Apabila kita perhatikan dalam al-Qur’an
ternyata Allah banyak menggunakan kata-kata yang mengandung
perumpamaan-perumpamaan (amtsâl). Hal ini tentu saja ada tujuan, tidak
satu pun Allah membuat sesuatu kecuali pasti ada tujuan, manfa’at, hikmah serta
pelajaran bagi orang yang membacanya.
Perumpamaan-perumpamaan dalam al-Qur’an itu
dimaksudkan agar manusia memperhatikan, memahami, mengambil pelajaran, berpikir
dan selalu mengingat. Namun sayang banyaknya perumpamaan itu tidak selalu
membuat manusia mengerti, melainkan tetap ada yang mengingkarinya. Karena
memang tidaklah mudah untuk memahami suatu perumpamaan. Maka untuk memahaminya perlu ilmu tentang masalah ini.
Pentingnya tamtsil (membuat pemisalan
dan perumpamaan) dapat menampilkan makna-makna yang bentuknya hidup dan mantap
dalam pikiran, dengan cara menyerupakan sesuatu yang gaib dengan yang nampak,
yang abstrak dengan yang kongkrit. Oleh karena itu dengan tamtsil dapat
mendorong jiwa untuk menerima makna serta akal yang terpuaskan. Dengan demikian
tamtsil dapat mengungkapkan segi-segi kemujizatan dalam al-Qur’an.[3]
Rahmat Syafi’i menyebutkan bahwa ilmu Al-Qur’an yang paling berbobot adalah amtsâl.
Ilmu ini dilupakan orang karena orang tersebut lupa mengamalkannya, sedangkan
ilmu amtsâl tanpa ada upaya mempraktikkan, seperti onta tanpa kendali,
atau seperti kuda binal lepas dari pingitan
Adapun orang yang pertama mengarang ilmu amtsâl Al-Qurân adalah Syekh Abdur Rahman
Muhammmad Bin Husein An‑Naisaburi (Wafat 406 H), dan di lanjutkan oleh Imam
Abul Hasan Ali Bin Muhammad Al‑Mawazdi (wafat 450). Kemudian dilanjutkan Imam
Syamsuddin Muhammad Bin Abi Bashrin Ibnul Qayyim At‑Jauziyyah (Wafat 754), Imam
Jalaluddin As‑Suyuti (Wafat 991H) dalam bukunya Al‑ltqan juga menyediakan
satu bab khusus yang membicarakan ilmu-ilmu amtsâl Al-Qurân dengan lima pasal di dalamnya[4].
Selanjutnya, untuk lebih
memahami amtsâl Al-Qurân, maka terlebih dahulu kita harus memehami tentang
definisi Amtsâl Al-Qurân, unsur-unsur Amtsâl al-Qurân, macam-macam Amtsâl
al-Qurân serta faedah Amtsâl al-Qurân.
B.
Pengertian
Amtsâl al-Qurân
Manna Al-Qattan[5] menjelaskan bahwa amtsâl
dari segi
bahasa adalah bentuk jama’ dari matsâl, mitsil, dan mâtsil yang berarti sama dengan syabah,
syibh, dan syâbih. Baik lafadz maupun
maknanya yang sering diartikan dengan ‘perumpamaan’.
Sedangkan dari segi
istilah, amtsâl adalah menonjolkan makna dalam bentuk perkataan yang
menarik dan padat serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih
ataupun perkataan bebas (lepas, bukan tasybih).
Dalam sastra, matsâl adalah suatu ungkapan perkataan yang
dihikayatkan dan sudah populer dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat
dalam perkataan itu dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu
diucapkan. Contohnya, رب رمية
من غير رام (betapa banyak lemparan panah
yang mengena tanpa sengaja). Matsâl ini dimaksudkan kepada orang yang biasanya
berbuat salah yang kadang-kadang ia berbuat benar. Atas dasar ini, matsâl harus mempunyai maurid (sumber) yang
kepadanya sesuatu yang lain diserupakan.
Kata matsâl digunakan pula untuk menunjukkan arti
“keadaan” dan “kisah yang menakjubkan”, dengan pengertian inilah ditafsirkan
kata-kata “matsâl” dalam sejumlah besar ayat al-Qurân.[6]
Al Mubarrad mengatakan
bahwa mitsâl terambil dari kata matsâl yaitu kata-kata yang
menjelaskan bahwa yang pertama seperti yang kedua, diantara keduanya terdapat
ikatan.[7]
Kata matsâl digunakan pula untuk menunjukkan arti keadaan
dan kisah yang menakjubkan. Dengan pengertian inilah ditafsirkan kata-kata matsâl
dalam sejumlah besar ayat.
Dalam al-Kasysyâf, Zamakhsari berkata bahwa matsâl menurut asal perkataan mereka berarti al-mitsl
dan an-nazîr (yang serupa, yang sebanding). Kemudian setiap perkataan
yang berlaku, populer, yang menyerupakan sesuatu (orang, keadaan dan
sebagainya) dengan “maurid” (atau apa yang terkandung dalam) perkataan
itu disebut matsâl . Mereka tidak menjadikan sebagai matsâl dan tidak memandang pantas untuk dijadikan matsâl
yang layak diterima dan dipopulerkan kecuali perkataan yang mengandung keanehan
dari berbagai segi. Dan “matsâl” dipinjam (dipakai secara pinjaman)
untuk menunjukkan keadaan, sifat atau kisah jika ketiganya dianggap penting dan
mempunyai keanehan. [8]
Masih terdapat makna lain dari
matsâl, yakni menurut ulama Bayan[9]. Menurut mereka, matsâl adalah majâz murakkab yang ‘alâqah-nya
musyâbahah, jika penggunaannya telah populer. Majaz ini pada asalnya
adalah isti’ârah tamtsiliyah, seperti kata-kata yang diucapkan terhadap
orang yang ragu-ragu dalam melakukan urusan: مالى أراك تقدم رجلا وتؤخر أخرى (mengapa aku lihat engkau
melangkahkan satu kaki dan mengundurkan kaki yang lain?).
Dikatakan pula, defenisi matsâl
ialah menonjolkan sesuatu makna
(yang abstrak) dalam bentuk yang inderawi agar menjadi indah dan menarik.
Dengan pengertian ini maka matsâl tidak disyaratkan harus mempunyai maurid
sebagaimana tidak disyaratkan pula harus berupa majâz murakkab.
Ibnul Qayyim [10] mendefinisikan Amtsâl al-Qurân dengan
‘menyerupakan sesuatu dengan yang lain dalam hal hukumnya, dan mendekatkan
sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan yang indrawi (konkrit, makhsus),
atau mendekatkan salah satu dari dua makhsus dengan yang lain dan menganggap
salah satunya itu sebagai yang lain’. Secara garis besar ia
mengelompokkan amtsâl al-Qurân menjadi
3 kelompok, yaitu:
1.
Tasybih sharih
(penyerupaan secara tegas dan langsung)
2.
Tasybih
dimni (penyerupaan secara tidak tegas, tidak langsung).
3.
Tidak
mengandung tasybih maupun isti’arah
Apabila memperhatikan matsâl -matsâl al-Qur’an yang disebutkan para ahli, kita
dapat menyimpulkan bahwa mereka mengemukakan ayat-ayat yang berisi penggambaran
keadaan sesuatu hal dengan keadaan hal lain, baik penggambaran itu dengan cara isti’ârah
maupun dengan tasybîh shârîh
(penyerupaan yang jelas); atau ayat-ayat yang menunjukkan makna yang menarik
dengan redaksi ringkas dan padat; atau ayat-ayat yang dapat dipergunakan bagi
sesuatu yang menyerupai dengan apa yang berkenaan dengan ayat itu. Sebab, Allah
mengungkapkan ayat-ayat itu secara langsung, tanpa sumber yang mendahuluinya.
C.
Unsur-unsur
Amtsâl al-Qurân
Sebagian ulama mengatakan bahwa Amtsâl memiliki empat unsur, yaitu:
1.
Wajhu
Syabah (وجه ا لشبه) :
segi perumpamaan
2.
Adaatu
Tasybih (أدة التشبه) : alat
yang dipergunakan untuk tasybih
3.
Musyabbah
(مشبه) : yang diperumpamakan
4.
Musyabbah
bih (مشبه به) : sesuatu
yang dijadikan perumpamaan.
Sebagai contoh, firman Allah swt.:
ã@sW¨B
tûïÏ%©!$#
tbqà)ÏÿZã
óOßgs9ºuqøBr&
Îû
È@Î6y
«!$#
È@sVyJx.
>p¬6ym
ôMtFu;/Rr&
yìö7y
@Î/$uZy
Îû
Èe@ä.
7's#ç7/Yß
èps($ÏiB
7p¬6ym
3 ª!$#ur
ß#Ïè»Òã
`yJÏ9
âä!$t±o
3 ª!$#ur
ììźur
íOÎ=tæ
ÇËÏÊÈ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha
luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q. S. Al-Baqarah[2]: 261)[11]
Wajhu Syabah-nya : pertumbuhan yang berlipat-lipat
Adaatu tasybih-nya : kata matsâlu.
Musyabbah-nya : infaq atau shadaqah di jalan Allah
Musyabbah bih-nya : benih.
D.
Macam-macam Amtsâl dalam Al-Qurân
Amtsâl dalam
al-Qur’an ada tiga macam, yaitu amtsâl musarrahah, amtsâl kâminah dan
amtsâl mursalah.[12]
Pertama, amtsâl yang tegas (Al-Amtsâl musharrahah), yaitu matsâl yang di dalamnya dijelaskan dengan lafadz matsâl atau sesuatu yang menunjukkan tasybih. Amtsâl seperti ini banyak
ditemukan dalam al-Qur’an, beberapa di antaranya adalah:
a.
Firman Allah mengenai orang munafik:
öNßgè=sVtB È@sVyJx. Ï%©!$# ys%öqtGó$# #Y$tR !$£Jn=sù ôNuä!$|Êr& $tB ¼ã&s!öqym |=yds ª!$# öNÏdÍqãZÎ/ öNßgx.ts?ur Îû ;M»yJè=àß w tbrçÅÇö6ã ÇÊÐÈ BL༠íNõ3ç/ ÒôJãã öNßgsù w tbqãèÅ_öt ÇÊÑÈ ÷rr& 5=Íh|Áx. z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÏmÏù ×M»uKè=àß Óôãuur ×-öt/ur
‘Perumpamaan mereka adalah seperti
orang yang menyalakan api. maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah
hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam
kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta. maka tidaklah
mereka akan kembali (ke jalan yang benar), atau seperti (orang-orang yang
ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan
kilat…”.(al-Baqarah [2]: 17-20)[13].
Dalam ayat ini Allah membuat dua perumpamaan bagi orang
munafik, yaitu api (unsur cahaya) dan air (materi kehidupan) dan wahyu yang
turun dari langit pun bermaksud untuk menerangi hati dan menghidupkannya. Allah
menyebutkan juga kedudukan dan fasilitas orang munafik dalam dua keadaan. Di
satu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk penerangan dan
kemanfaatan; mengingat mereka memperoleh kemanfaatan materi dengan sebab masuk
Islam. Namun di sisi lain Islam tidak memberikan pengaruh “Nur”-Nya terhadap
hati mereka karena Allah menghilangkan cahaya (nur) yang ada dalam api itu,
“Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, dan membiarkan unsur
“membakar” yang ada padanya.
Imam
Ibnu Katsir [14]
menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut :
‘…hal ini
merupakan suatu perumpamaan yang dibuat
Allah untuk menggambarkan orang-orang munafik. Yaitu pada mulanya mereka
merasa bangga dengan Isllam, maka kaum muslim mau mengadakan pernikahan dengan
mereka, saling mewarisi dan saling membagikan harta fai, tetapi dikala mereka
mati , Allah mencabut kebanggaan itu dari mereka sebagaimana cahaya apai yang
dihilangkan dari orang-orang yang
memerlukannya.’
Inilah
perumpamaan mereka yang berkenaan dengan api. Sedangkan masalah mengenai
air, Allah menyerupakan mereka dengan keadaan orang ditimpa hujan lebat yang
disertai gelap gulita, guruh dan kilat, sehingga terkoyaklah kekuatan orang itu
dan ia meletakkan jari jemari untuk menyumbat telinga serta memejamkan mata
karena takut petir menimpanya. Ini mengingat bahwa Qur’an dengan segala
peringatan, perintah, larangan dan khitabnya bagi mereka tak ubahnya dengan
petir yang turun sambar-menyambar.
b.
Firman Allah mengenai sifat orang Yahudi:
Allah Swt berfirman di dalam surat
al-Baqarah ayat: 74 :
§NèO ôM|¡s% Nä3ç/qè=è% .`ÏiB Ï÷èt/ Ï9ºs }Îgsù Íou$yÚÏtø:$$x. ÷rr& x©r& Zouqó¡s% 4 ¨bÎ)ur z`ÏB Íou$yfÏtø:$# $yJs9 ã¤fxÿtFt çm÷ZÏB ã»yg÷RF{$# 4 ¨bÎ)ur $pk÷]ÏB $yJs9 ß,¤)¤±o ßlã÷usù çm÷YÏB âä!$yJø9$# 4 ¨bÎ)ur $pk÷]ÏB $yJs9 äÝÎ6öku ô`ÏB Ïpuô±yz «!$# 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇÐÍÈ
"Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras,
seperti kerasnya batu, bahkan lebih keras. Padahal dari
batu-batu pasti ada sungai-sungai yang airnya memancar daripadanya. Ada pula yang
terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya. Dan ada pula yang
meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Dan Allah sama sekali tidak lengah
terhadap apa yang kamu kerjakan" [15].
Ayat tersebut diturunkan
sehubungan dengan Bani Israel. Di dalam ayat tersebut Allah membuat perumpamaan
yang indah tentang
kekerasan hati mereka. Kerasnya hati umat Yahudi itu diibaratkan batu yang tidak pernah lunak
selama-lamanya, [16]
sehingga lembaran hidup mereka hitam di sepanjang sejarah.
Karena sifat-sifat buruk seperti
fanatik, membangkang, congkak dan dengki terhadap para nabi dan melawan
kebenaran merupakan ciri khas bangsa yang pendurhaka dan kufur terhadap nikmat
Allah ini. Kaum Yahudi telah banyak menyusahkan dan berbuat nifak terhadap kaum
muslimin. Dari satu sisi mereka mengadakan perjanjian terhadap kaum muslimin,
tetapi dasi sisi lain mereka menikam dari belakang. Permusuhan bangsa ini
terhadap orng-orang Islam sama sekali tidak akan berakhir dan sampai pada masa
kita sekarang ini masih dapat kita saksikan.
Demikian
Allah memberikan mitsil atau perumpamaan orang Yahudi yang tidak pernah
mau menerima kebenaran Allah ibarat batu yang amat keras yang tidak pernah
lunak, sebagaimana disebut dalam ayat di atas.
Kedua, amtsâl yang
tersembunyi (Al-Amtsâl kâminah), yaitu matsâl
yang di dalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafadz tamsil tetapi ia
menunjukkan makna-makna yang indah, menarik
dalam kepadatan redaksinya dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan
kepada yang serupa dengannya. Di antara contoh al-amtsâl kâminah adalah: ayat yang senada dengan perkataan: خير الأمور الوسط (sebaik-baik urusan adalah pertengahannya), di anataranya
:
v Firman
Allah mengenai sapi betina
øÎ)ur tA$s% 4ÓyqãB ÿ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ¨bÎ) ©!$# ôMä.âßDù't br& (#qçtr2õs? Zots)t/ ( (#þqä9$s% $tRäÏGs?r& #Yrâèd ( tA$s% èqããr& «!$$Î/ ÷br& tbqä.r& z`ÏB úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÏÐÈ
‘Dan (ingatlah), ketika
Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih
seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan
kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar
tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". (Q.S. al-Baqarah
[2] : 67) [17]
Kisah sapi betina Bani Israel
Ayat tersebut diturunkan setelah ayat-ayat yang menceritakan kisah sapi betina
Bani Israel. Kesimpulan dari kisah tersebut dituangkan pada ayat 67 sampai ayat
73 di dalam surat al-Baqarah. Kisah itu sebagai berikut: "Seorang lelaki
dari Bani Israel terbunuh tanpa diketahui siapa pembunuhnya. Hal ini
menyebabkan terjadinya ikhtilaf di anatara mereka. Biasanya, ketika terjadi
pembunuhan atas seseorang, sebagian mereka berusaha melemparkan tuduhan
pembunuhan tersebut kepada pihak lainnya. Kisah yang sebenarnya adalah bahwa
seorang pemuda telah membunuh pamannya yang kaya raya. Pemuda tersebut
merupakan satu-satunya ahli waris pamannya. Tidak sabar menanti kematian
pamannya itu, akhirnya ia memutuskan untuk membunuhnya agar segera memperoleh
harta warisan darinya. Sebagian orang mengatakan bahwa kecintaan seorang pemuda
kepada putri pamannya menyebabkan ia membunuh pamannya itu. Karena meskipun
pamannya itu mencintainya, tetapi pada akhirnya ia mengawinkan putrinya itu
kepada orang lain. Tersebarnya berita terbunuhnya seorang lelaki itu
menimbulkan keributan sehingga membuat si pembunuh yang sebenarnya ikut-ikutan
mencari sang pembunuh. Fitnah besar tersebut hampir-hampir saja mengobarkan
peperangan antara saku dengan suku lainnya. Akhirnya mereka
memohon kepada Nabi Musa as agar mencarikan solusi atas problem yang mereka
hadapi. Allah memberikan jalan keluar sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur’an:
"Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh
kalian agar menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah
kamu ingin menghinakan kami?". Musa berkata: "Aku berlindung diri
kepada Allah dari termasuk orang-orang yang bodoh ".
Artinya
bahwa menghina itu termasuk perbuatan orang-orang bodoh. Sementara para nabi
bebas dari perbuatan seperti itu. Setelah mereka yakin bahwa perintah itu
serius "mereka berkata: "Mohonlah kepada Tuhanmu agar Dia menjelaskan
kepada kami; sapi betina yang bagaimana?". Musa as menjawab: "Allah
berfirman: Yaitu sapi betina yang tidak tua dan juga tidak terlalu muda, tetapi
pertengahan di antara keduanya". Artinya usia sapi itu tidak terlalu tua
dan juga tidak terlalu muda, tetapi pertengahan di antara dua kondisi.
"Maka lakukkanlah apa yang diperintahkan kepada kalian!". Tetapi Bani
Israel senantiasa berbuat rewel. "Mereka berkata: "Mohonlah kepada
Tuhanmu agar Dia menjelaskan apa warna sapi betina itu?". Musa menjawab:
"Dia berkata bahwa sapi betina itu harus yang berwarna kuning terang yang
menarik bagi orang-orang yang memandangnya". Artinya bahwa sapi betina itu
bagus warnanya dan tidak dicampuri dengan warna lainnya. Mereka masih saja
rewel dan bertanya kembali kepada musa: "Mereka berkata: Mohonlah kepada
Tuhanmu untuk kami agar ia menjelaskan kepada kami, maksudnya sapi betina yang
bagaimana, sebab sapi itu masih juga samar bagi kami. Insya Allah kami
betul-betul mendapat petunjuk". Musa menjawab: "Musa berkata: Allah
berfirman yaitu sapi betina yang tidak jinak yang digunakan untuk membajak
tanah dan tidk juga digunakan untuk menyiram tanaman". Artinya bukan jenis sapi betina
yang biasa digunakan untuk membajak tanah dan menyiram pertanian. Akhirnya
setelah susah payah, mereka mendapatkan sapi betina tersebut. Kemudian mereka
menyembelihnya dan menyaksikan mukjizat Ilahi melalui sapi tersebut.
Ulasan dan tafsir Seharusnya
peristiwa besar itu dapat menambah iman mereka. Tetapi hal itu tidak terjadi.
Bahkan setelah itu ayat al-Qur’an menceritakan keadaan mereka dengan ungkapan:
"hati mereka keras sehingga bagaikan batu atau lebih keras lagi".
Artinya tanda-tanda kebesaran Allah itu tidak menambah kaum tersebut melainkan
mereka malah tambah membangkang, keras hati, durhaka dan menginjak-injak
kehormatan para nabi
v Firman
Allah mengenai nafkah:
tûïÏ%©!$#ur !#sÎ) (#qà)xÿRr& öNs9 (#qèùÌó¡ç öNs9ur (#rçäIø)t tb%2ur ú÷üt/ Ï9ºs $YB#uqs% ÇÏÐÈ
“Dan orang-orang yang
apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir,
dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”. (Qs.
Furqan [25]: 67)[18]
v Firman
Allah mengenai infaq
wur ö@yèøgrB x8yt »'s!qè=øótB 4n<Î) y7É)ãZãã wur $ygôÜÝ¡ö6s? ¨@ä. ÅÝó¡t6ø9$# yãèø)tFsù $YBqè=tB #·qÝ¡øt¤C ÇËÒÈ
‘Dan janganlah kamu
jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya,
Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (Q.S Al-Isra [17] : 29)[19]
Maksud ayat di atas memberikan suatu perumpamaan secara dimmi tetang
ajaran Islam yaitu jangan terlalu kikir,
dan jangan pula terlalu boros.
Ketiga, amtsâl yang terlepas (al-amtsâl al-mursalah), yaitu
kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafadz tasybih secara
jelas, tetapi kalimat-kalimat tersebut berlaku sebagai tasybih.
Para ulama berbeda
pendapat tentang ayat-ayat yang mereka namakan amtsâl mursalah, apa atau bagaimana hukum
mempergunakannya sebagai matsâl. Contohnya ar Raji menafsirkan ayat:
ö/ä3s9 ö/ä3ãYÏ uÍ<ur ÈûïÏ ÇÏÈ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku." (QS Al Kafirun [109] : 6)[20]
Menurut
beliau, sudah menjadi tradisi orang ayat ini dijadikan sebagai pembela ayat
yang membenarkan perbuatan ketika seseorang meningalkan ajaran agama, padahal
tidak demikian adanya. Sebab Allah menurunkan al-Qur’an bukan untuk dijadikan matsâl,
tetapi untuk direnungkan kemudian diamalkan isi kandungannya.
Sebagian
golongan ulama berpendapat tidak ada salahnya apabila seseorang menggunakan
al-Qur’an sebagai matsâl dalam
keadaan sungguh-sungguh seperti seseorang yang diajak bicara oleh penganut
ajaran sesat yang berusaha membujuknya agar mengikuti ajarannya, ia menjawab:
ö/ä3s9 ö/ä3ãYÏ uÍ<ur ÈûïÏ ÇÏÈ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku." (QS Al Kafirun [109] : 6)[21]
Namun
demikian, golongan ulama ini tetap memegang prinsip bahwa bolehnya menggunakan amtsâl
mursalah ini untuk
kepentingan yang sungguh-sungguh, bukan untuk kepentingan senda gurau. [22]
Mannâ Khalil
al Qattân[23]
menuliskan beberapa contoh ayat yang mengandung amtsâl mursalah, antara lain:
a.
QS Yusuf [12]: 51;
b.
QS An-Najm
[53] :58;
c.
QS Yusuf
[12] : 41);
d.
QS Hud
[11] : 58);
e.
QS Al-An'am
[6] :67;
f.
QS. Fathir
[35] : 43;
g.
QS Al
Isra' [17] : 84;
h.
QS al-Baqarah [2] : 216;
i.
QS Al
Muddatstsir [74] : 38;
j.
QS Ar-Rahman [55]: 60);
k.
QS Al
Mukminun [23] : 53;
l.
QS Al Hajj [22] : 73;
m. QS
Shaffat [37]: 61;
n.
QS Al
Maidah [5] : 100 ;
o.
QS Al
Baqarah [2] : 249;
p.
QS Al
Hasyr [59] : 14;
E.
Faedah
Amtsâl Al-Qurân
Adanya
amtsâl al-Qurân mengandung
hikmah bagi umat Islam, diantara nya adalah mengandung manfa’at sebagai berikut
:
1.
Menonjolkan
sesuatu yang hanya dapat dijangkau dengan akal menjadi bentuk kongkrit yang
dapat dirasakan atau difahami oleh indera manusia[24].
Sebagai contoh, manusia memahami tentang riya’, namun pemahamannya hanya
difahami secara rasio di dalam akal. Oleh karena itu Allah memberi mitsil-nya
dalam al-Qur’an sehingga manusia lebih dapat memahami melalui inderanya.
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=ÏÜö7è? Nä3ÏG»s%y|¹ Çd`yJø9$$Î/ 3sF{$#ur É©9$%x. ß,ÏÿYã ¼ã&s!$tB uä!$sÍ Ä¨$¨Z9$# wur ß`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ( ¼ã&é#sVyJsù È@sVyJx. Ab#uqøÿ|¹ Ïmøn=tã Ò>#tè? ¼çmt/$|¹r'sù ×@Î/#ur ¼çm2utIsù #V$ù#|¹ ( w crâÏø)t 4n?tã &äóÓx« $£JÏiB (#qç7|¡2 3 ª!$#ur w Ïôgt tPöqs)ø9$# tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇËÏÍÈ
‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya Karena riya kepada manusia
dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang
itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, Kemudian batu itu ditimpa
hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (Tidak bertanah). mereka tidak
menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir’. (Qs Al Baqarah [2] : 264)[25]
2.
Menyingkapkan hakikat dari mengemukakan sesuatu yang tidak nampak menjadi
sesuatu yang seakan-akan nampak.
Contohnya Q. S. Al-Baqarah: 275
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang
Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil
riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.” Contoh lainnya terdapat dalam QS Al-Baqarah
[2]ayat 275[26]
3.
Mengumpulkan makna yang menarik dan indah dalam ungkapan yang padat,
seperti dalam amtsâl kaminah
dan amtsâl mursalah dalam
ayat-ayat di atas.
4.
Memotivasi orang untuk mengikuti atau mencontoh perbuatan baik seperti apa
yang digambarkan dalam amtsâl, contohnya terdapat dalam Qs Al-Baqarah
ayat 26.
5.
Menghindarkan diri dari perbuatan negative , contohnya terdapat dalam Qs Al
Hujarat ayat 12
6.
Memuji
orang yang diberi masal, contohnya terdapat dalam QS Al fath [48] ayat 29
7.
Menggambarkan
sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak. Misalnya
masal tentang keadaan orang yang dikaruniai Kitabullah tetapi ia tersesat jalan
hingga tidak mengamalkannya. Contohnya terdapat dalam QS Al-A’raf [7] ayat
175-176.
8.
Amtsâl lebih berpengaruh pada jiwa,
lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan
dan lebih dapat memuaskan hati. Dalam Al-Qur’an Allah swt. Banyak menyebut amtsâl
untuk peringatan dan supaya dapat
diambil ibrahnya. Contohnya terdapat dalam QS Az Zumar[39] ayat 27 dan
QS. Al-Ankabut[29] ayat 43
Secara
khusus Abdurahman An-Nahlawi mengangkat
manfa’at matsal ini ke dalam metode pendidikan Islam. Penggunaan metode amtsâl dalam pendidikan
tiada lain adalah untuk menggugah dua perasaan, yaitu menggugah rasa takut dan
menggugah perasaan senang dan gemar beribadah pada anak didik.[27]
Penerapan Metode Amtsâl dalam
dunia pendidikan contohnya dapat dilakukan oleh guru Pendidikan Agama Islam di
SMP ketika menyampaikan materi pelajaran dengan pokok bahasan infak fi sabilillah ". Tujuan dari materi
ini adalah siswa diharapkan dapat memahami makna infaq yang benar
sehingga siswa mampu membedakan antara infaq di jalan Allah dengan infaq
yang bukan di jalan Allah dan mampu merangsang semangat para siswa untuk berinfaq
dengan cara yang benar dan menghindarkan diri dari praktek‑praktek berinfaq yang
salah. Dengan perumpamaan ini, secara teoritis akan mudah ditangkap oleh siswa
sehingga mereka dengan mudah mampu membedakan antara infaq fi sabililldh dengan infaq lainnya.
F.
Penutup
Allah menggunakan banyak perumpamaan (amtsâl
) dalam Al-Qur’an. Perumpamaan-perumpamaan itu dimaksudkan agar manusia
memperhatikan, memahami, mengambil pelajaran, berpikir dan selalu mengingat.
Sayangnya banyaknya perumpamaan itu tidak selalu membuat manusia mengerti,
melainkan tetap ada yang mengingkarinya/ tidak percaya. Karena memang tidaklah
mudah untuk memahami suatu perumpamaan, maka kita perlu ilmu Amtsâl al-Qurân untuk memahaminya.
Amtsâl
al-Qurân
adalah menyerupakan sesuatu dengan yang lain dalam hal hukumnya,
dan mendekatkan sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan yang indrawi
(konkrit, makhsus), atau mendekatkan salah satu dari dua makhsus
dengan yang lain dan menganggap salah satunya itu sebagai yang lain’. Unsur-unsur Amtsâl al-Qurân terdiri dari
(1) Wajhu Syabah (وجه ا لشبه), (2) Adaatu Tasybih (أدة التشبه), (3)
Musyabbah (مشبه), serta (4) Musyabbah bih
(مشبه به).
Amtsâl dalam
al-Qur’an ada tiga macam, yaitu (1) amtsâl yang tegas (Al-Amtsâl musharrahah), yaitu matsâl yang di
dalamnya dijelaskan dengan lafadz matsâl
atau sesuatu yang menunjukkan tasybih,
(2) amtsâl yang
tersembunyi (Al-Amtsâl kâminah), yaitu matsâl yang di dalamnya tidak disebutkan dengan jelas
lafadz tamsil tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, dan (3) amtsâl yang terlepas (al-amtsâl al-mursalah),
yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafadz tasybih secara
jelas, tetapi kalimat-kalimat tersebut berlaku sebagai tasybih.
Amtsâl al-Qurân
penting untuk memotivasi orang untuk mengikuti atau mencontoh perbuatan baik
seperti apa yang digambarkan dalam amtsâl, menghindarkan diri dari
perbuatan negatif. Amtsâl lebih
berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam
memberikan peringatan dan lebih dapat memuaskan hati. Dalam Al-Qur’an Allah
swt. banyak menyebut amtsâl untuk
peringatan dan supaya dapat diambil ibrahnya. Amtsâl juga memberikan kesempatan kepada setiap
budaya dan juga bagi nalar para cendekiawan untuk menafsirkan dan
mengaktualisasikan diri dalam wadah nilai-nilai universalnya.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qattân, Mannâ Khalil, 2001, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an,
(terjemah: Mudzakir As), Bandung: Pustaka Lintera
An-Nahlawi, Abdurahman,
1989, Prinsip-prinsip dan metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah
dan di Masyarakat, Bandung : CV. Dipenogoro
Ash-Shiddieqy,
Tengku Muhammad Hasbi, 1993Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Ilmu-ilmu Pokok dalam
Menafsirkan Al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra
http,www.thstaipi.blogspot.com
Departemen Agama, tt, Al-Qur’an
dan terjemah, Medinah Munawwarah: Mujamma’ Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li thiba al Mush-haf
asy-Syarif
Ibnu Kasir, Al-Imam,
2003, Tafsir Ibnu Katsir, (terj) Bahrun Abu Bakar, Bandung Jakarta:
Sinar Baru Al Gesindo
Syafi’I, Rahmat,2005, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung:
Pustaka
[1] Rahmat
Syafi’I, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka, 2005) hlm. 141
[2] Ibid,
hlm. 141-142
[3]Mannâ Khalil al-Qattân, Studi Ilmu-ilmu
al-Qur’an, Terj. Mudzakir AS, (Pustaka
Lintera, Bandung, 2005), hlm 400
[4] Rahmat
Syafi’I, Ibid, hlm 143
[6] Ibid,
hlm 402
[7] Rahmat
Syafi’I, Ibid, hlm. 143
[8] http,www.thstaipi.blogspot.com
[9] Ibid.
[11] Departemen Agama, Al-Qur’an
dan terjemah,(Medinah Munawwarah: Mujamma’ Khadim al
Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li thiba al
Mush-haf asy-Syarif, tt) hlm. 65
[14] Al-Imam Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Katsir, (terj)
Bahrun Abu Bakar, Jakarta, Sinar Baru Al Gesindo; Bandung; 2003), hlm. 274
[16] Al-Imam
Ibnu Katsir, Ibid, hlm. 600
[21] Ibid
[23] Ibid
hlm. 407-408
Tidak ada komentar:
Posting Komentar