Judul

Selasa, 29 Januari 2013

Ilmu Amtsal Qur'an

‘ILM AMTSÂL AL-QURÂN

A.           Pendahuluan
Sejak jaman Jahiliyyah, bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang gemar berbicara fasih, membuat syair-syair yang indah bahkan syair-syair itu dilombakan dan merupakan kebanggaan bagi mereka apalagi kalau hasil karyanya digantung di depan ka’bah. Kemampuan  dalam kelincahan dan kelancaran lidahnya masih terus bertambah agar lebih fasih lagi, hal ini terdorong keadaan sekitarnya terutama agar mereka dapat merangkai kata yang indah dan membuat ungkapan yang shârih.[1] Kemampuan ini terpeliharanya kefasihan yang ada pada bangsa Arab.
Modal kefasihan yang mereka miliki  adalah untuk kehidupan mereka. Selain itu modal-modal tersebut amat penting dalam berbagai keperluan, di antaranya untuk berpidato, mufakharah (kata-kata sanjungan) dan menyampaikan kata-kata hikmah dan amtsâl. Untuk yang terakhir ini mengandung makna bahwa kata-kata hikmah mengandung arti pesan yang baik dan mengandung nasihat singkat dan tepat,  sementara amtsâl mengandung makna kata-kata singkat, tepat, jitu dan menuju sasaran.[2]  Kata-kata yang mengandung hikmah dan amtsâl  ini hanya dapat dibuat oleh orang-orang yang ahli dan cerdik pada saat itu.
Demikian  keadaan bangsa Arab dalam hal kemampuan membuat kata-kata yang dirangkai dalam syair-syair yang terkenal sehingga menjadi bagian dari karakter yang mereka miliki saat itu.
Apabila kita perhatikan dalam al-Qur’an ternyata Allah banyak menggunakan kata-kata yang mengandung perumpamaan-perumpamaan (amtsâl). Hal ini tentu saja ada tujuan, tidak satu pun Allah membuat sesuatu kecuali pasti ada tujuan, manfa’at, hikmah serta pelajaran bagi orang yang membacanya.
Perumpamaan-perumpamaan dalam al-Qur’an itu dimaksudkan agar manusia memperhatikan, memahami, mengambil pelajaran, berpikir dan selalu mengingat. Namun sayang banyaknya perumpamaan itu tidak selalu membuat manusia mengerti, melainkan tetap ada yang mengingkarinya. Karena memang tidaklah mudah untuk memahami suatu perumpamaan. Maka untuk memahaminya  perlu ilmu tentang masalah ini.
Pentingnya tamtsil (membuat pemisalan dan perumpamaan) dapat menampilkan makna-makna yang bentuknya hidup dan mantap dalam pikiran, dengan cara menyerupakan sesuatu yang gaib dengan yang nampak, yang abstrak dengan yang kongkrit. Oleh karena itu dengan tamtsil dapat mendorong jiwa untuk menerima makna serta akal yang terpuaskan. Dengan demikian tamtsil dapat mengungkapkan segi-segi kemujizatan dalam al-Qur’an.[3]
Rahmat Syafi’i menyebutkan bahwa ilmu Al-Qur’an yang paling berbobot adalah amtsâl. Ilmu ini dilupakan orang karena orang tersebut lupa mengamalkannya, sedangkan ilmu amtsâl tanpa ada upaya mempraktikkan, seperti onta tanpa kendali, atau seperti kuda binal lepas dari pingitan
Adapun orang yang pertama mengarang ilmu amtsâl  Al-Qurân adalah Syekh Abdur Rahman Muhammmad Bin Husein An‑Naisaburi (Wafat 406 H), dan di lanjutkan oleh Imam Abul Hasan Ali Bin Muhammad Al‑Mawazdi (wafat 450). Kemudian dilanjutkan Imam Syamsuddin Muhammad Bin Abi Bashrin Ibnul Qayyim At‑Jauziyyah (Wafat 754), Imam Jalaluddin As‑Suyuti (Wafat 991H) dalam bukunya Al‑ltqan juga menyediakan satu bab khusus yang membicarakan ilmu-ilmu amtsâl  Al-Qurân dengan lima pasal di dalamnya[4].
Selanjutnya, untuk lebih memahami amtsâl  Al-Qurân, maka terlebih dahulu kita harus memehami tentang definisi Amtsâl  Al-Qurân, unsur-unsur Amtsâl al-Qurân, macam-macam Amtsâl al-Qurân serta faedah Amtsâl al-Qurân.


B.            Pengertian Amtsâl al-Qurân
Manna Al-Qattan[5]  menjelaskan bahwa amtsâl dari segi bahasa adalah bentuk jama’ dari matsâl, mitsil, dan mâtsil yang berarti sama dengan syabah, syibh, dan syâbih. Baik lafadz maupun maknanya yang sering diartikan dengan perumpamaan.
Sedangkan dari segi istilah, amtsâl adalah menonjolkan makna dalam bentuk perkataan yang menarik dan padat serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih ataupun perkataan bebas (lepas, bukan tasybih).
Dalam sastra, matsâl  adalah suatu ungkapan perkataan yang dihikayatkan dan sudah populer dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat dalam perkataan itu dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu diucapkan. Contohnya, رب رمية من غير رام (betapa banyak lemparan panah yang mengena tanpa sengaja). Matsâl  ini dimaksudkan kepada orang yang biasanya berbuat salah yang kadang-kadang ia berbuat benar. Atas dasar ini, matsâl  harus mempunyai maurid (sumber) yang kepadanya sesuatu yang lain diserupakan.
Kata matsâl  digunakan pula untuk menunjukkan arti “keadaan” dan “kisah yang menakjubkan”, dengan pengertian inilah ditafsirkan kata-kata “matsâl” dalam sejumlah besar ayat al-Qurân.[6]
Al Mubarrad mengatakan bahwa mitsâl terambil dari kata matsâl yaitu kata-kata yang menjelaskan bahwa yang pertama seperti yang kedua, diantara keduanya terdapat ikatan.[7]
Kata matsâl  digunakan pula untuk menunjukkan arti keadaan dan kisah yang menakjubkan. Dengan pengertian inilah ditafsirkan kata-kata matsâl  dalam sejumlah besar ayat.
Dalam al-Kasysyâf,  Zamakhsari berkata bahwa matsâl  menurut asal perkataan mereka berarti al-mitsl dan an-nazîr (yang serupa, yang sebanding). Kemudian setiap perkataan yang berlaku, populer, yang menyerupakan sesuatu (orang, keadaan dan sebagainya) dengan “maurid” (atau apa yang terkandung dalam) perkataan itu disebut matsâl . Mereka tidak menjadikan sebagai matsâl  dan tidak memandang pantas untuk dijadikan matsâl yang layak diterima dan dipopulerkan kecuali perkataan yang mengandung keanehan dari berbagai segi. Dan “matsâl” dipinjam (dipakai secara pinjaman) untuk menunjukkan keadaan, sifat atau kisah jika ketiganya dianggap penting dan mempunyai keanehan. [8]
Masih terdapat makna lain dari matsâl, yakni menurut ulama Bayan[9]. Menurut mereka, matsâl  adalah majâz murakkab yang ‘alâqah-nya musyâbahah, jika penggunaannya telah populer. Majaz ini pada asalnya adalah isti’ârah tamtsiliyah, seperti kata-kata yang diucapkan terhadap orang yang ragu-ragu dalam melakukan urusan: مالى أراك تقدم رجلا وتؤخر أخرى  (mengapa aku lihat engkau melangkahkan satu kaki dan mengundurkan kaki yang lain?).
Dikatakan pula, defenisi matsâl  ialah menonjolkan sesuatu makna (yang abstrak) dalam bentuk yang inderawi agar menjadi indah dan menarik. Dengan pengertian ini maka matsâl  tidak disyaratkan harus mempunyai maurid sebagaimana tidak disyaratkan pula harus berupa majâz murakkab.
Ibnul Qayyim [10] mendefinisikan Amtsâl al-Qurân dengan ‘menyerupakan sesuatu dengan yang lain dalam hal hukumnya, dan mendekatkan sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan yang indrawi (konkrit, makhsus), atau mendekatkan salah satu dari dua makhsus dengan yang lain dan menganggap salah satunya itu sebagai yang lain’. Secara garis besar ia mengelompokkan amtsâl  al-Qurân menjadi 3 kelompok, yaitu:
1.        Tasybih sharih (penyerupaan secara tegas dan langsung)
2.        Tasybih dimni (penyerupaan secara tidak tegas, tidak langsung).
3.        Tidak mengandung tasybih maupun isti’arah
Apabila memperhatikan matsâl -matsâl  al-Qur’an yang disebutkan para ahli, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka mengemukakan ayat-ayat yang berisi penggambaran keadaan sesuatu hal dengan keadaan hal lain, baik penggambaran itu dengan cara isti’ârah maupun dengan tasybîh shârîh (penyerupaan yang jelas); atau ayat-ayat yang menunjukkan makna yang menarik dengan redaksi ringkas dan padat; atau ayat-ayat yang dapat dipergunakan bagi sesuatu yang menyerupai dengan apa yang berkenaan dengan ayat itu. Sebab, Allah mengungkapkan ayat-ayat itu secara langsung, tanpa sumber yang mendahuluinya.

C.      Unsur-unsur Amtsâl al-Qurân
Sebagian ulama mengatakan bahwa Amtsâl  memiliki empat unsur, yaitu:
1.             Wajhu Syabah (وجه ا لشبه)  :    segi perumpamaan
2.             Adaatu Tasybih (أدة التشبه)     :    alat yang dipergunakan untuk tasybih
3.             Musyabbah (مشبه)                 :    yang diperumpamakan
4.             Musyabbah bih (مشبه به)       :    sesuatu yang dijadikan perumpamaan.
Sebagai contoh, firman Allah swt.:
ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムóOßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y Ÿ@Î/$uZy Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß èps($ÏiB 7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ï軟Òム`yJÏ9 âä!$t±o 3 ª!$#ur ììźur íOŠÎ=tæ ÇËÏÊÈ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q. S. Al-Baqarah[2]: 261)[11]

Wajhu Syabah-nya           : pertumbuhan yang berlipat-lipat
Adaatu tasybih-nya          : kata matsâlu.
Musyabbah-nya                : infaq atau shadaqah di jalan Allah
Musyabbah bih-nya          : benih.


D.           Macam-macam Amtsâl dalam Al-Qurân
Amtsâl  dalam al-Qur’an ada tiga macam, yaitu amtsâl musarrahah, amtsâl kâminah dan amtsâl mursalah.[12]
Pertama, amtsâl yang tegas (Al-Amtsâl musharrahah), yaitu matsâl  yang di dalamnya  dijelaskan dengan lafadz matsâl  atau sesuatu yang menunjukkan tasybih. Amtsâl seperti ini banyak ditemukan dalam al-Qur’an, beberapa di antaranya adalah:
a.         Firman Allah mengenai orang munafik:
öNßgè=sVtB È@sVyJx. Ï%©!$# ys%öqtGó$# #Y$tR !$£Jn=sù ôNuä!$|Êr& $tB ¼ã&s!öqym |=ydsŒ ª!$# öNÏdÍqãZÎ/ öNßgx.ts?ur Îû ;M»yJè=àß žw tbrçŽÅÇö6ムÇÊÐÈ BL༠íNõ3ç/ ÒôJãã öNßgsù Ÿw tbqãèÅ_ötƒ ÇÊÑÈ ÷rr& 5=ÍhŠ|Áx. z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÏmŠÏù ×M»uKè=àß Óôãuur ×-öt/ur
‘Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api. maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta. maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar), atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat…”.(al-Baqarah [2]: 17-20)[13].

Dalam ayat ini Allah membuat dua perumpamaan bagi orang munafik, yaitu api (unsur cahaya) dan air (materi kehidupan) dan wahyu yang turun dari langit pun bermaksud untuk menerangi hati dan menghidupkannya. Allah menyebutkan juga kedudukan dan fasilitas orang munafik dalam dua keadaan. Di satu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk penerangan dan kemanfaatan; mengingat mereka memperoleh kemanfaatan materi dengan sebab masuk Islam. Namun di sisi lain Islam tidak memberikan pengaruh “Nur”-Nya terhadap hati mereka karena Allah menghilangkan cahaya (nur) yang ada dalam api itu, “Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, dan membiarkan unsur “membakar” yang ada padanya.
Imam Ibnu Katsir  [14] menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut :
…hal ini merupakan suatu perumpamaan yang dibuat  Allah untuk menggambarkan orang-orang munafik. Yaitu pada mulanya mereka merasa bangga dengan Isllam, maka kaum muslim mau mengadakan pernikahan dengan mereka, saling mewarisi dan saling membagikan harta fai, tetapi dikala mereka mati , Allah mencabut kebanggaan itu dari mereka sebagaimana cahaya apai yang dihilangkan dari orang-orang yang  memerlukannya.’

Inilah perumpamaan mereka yang berkenaan dengan api. Sedangkan masalah mengenai air, Allah menyerupakan mereka dengan keadaan orang ditimpa hujan lebat yang disertai gelap gulita, guruh dan kilat, sehingga terkoyaklah kekuatan orang itu dan ia meletakkan jari jemari untuk menyumbat telinga serta memejamkan mata karena takut petir menimpanya. Ini mengingat bahwa Qur’an dengan segala peringatan, perintah, larangan dan khitabnya bagi mereka tak ubahnya dengan petir yang turun sambar-menyambar.
b.        Firman Allah mengenai sifat orang Yahudi:
Allah Swt berfirman di dalam surat al-Baqarah ayat: 74 :
§NèO ôM|¡s% Nä3ç/qè=è% .`ÏiB Ï÷èt/ šÏ9ºsŒ }Îgsù Íou$yÚÏtø:$$x. ÷rr& x©r& Zouqó¡s% 4 ¨bÎ)ur z`ÏB Íou$yfÏtø:$# $yJs9 ㍤fxÿtFtƒ çm÷ZÏB ㍻yg÷RF{$# 4 ¨bÎ)ur $pk÷]ÏB $yJs9 ß,¤)¤±o ßlã÷uŠsù çm÷YÏB âä!$yJø9$# 4 ¨bÎ)ur $pk÷]ÏB $yJs9 äÝÎ6öku ô`ÏB ÏpuŠô±yz «!$# 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇÐÍÈ
"Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras, seperti kerasnya batu, bahkan lebih keras. Padahal dari batu-batu pasti ada sungai-sungai yang airnya memancar daripadanya. Ada pula yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya. Dan ada pula yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Dan Allah sama sekali tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan" [15].
Ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan Bani Israel. Di dalam ayat tersebut Allah membuat perumpamaan yang indah tentang kekerasan hati mereka. Kerasnya hati umat Yahudi itu  diibaratkan batu yang tidak pernah lunak selama-lamanya,  [16] sehingga lembaran hidup mereka hitam di sepanjang sejarah.
Karena sifat-sifat buruk seperti fanatik, membangkang, congkak dan dengki terhadap para nabi dan melawan kebenaran merupakan ciri khas bangsa yang pendurhaka dan kufur terhadap nikmat Allah ini. Kaum Yahudi telah banyak menyusahkan dan berbuat nifak terhadap kaum muslimin. Dari satu sisi mereka mengadakan perjanjian terhadap kaum muslimin, tetapi dasi sisi lain mereka menikam dari belakang. Permusuhan bangsa ini terhadap orng-orang Islam sama sekali tidak akan berakhir dan sampai pada masa kita sekarang ini masih dapat kita saksikan.
Demikian Allah memberikan mitsil atau perumpamaan orang Yahudi yang tidak pernah mau menerima kebenaran Allah ibarat batu yang amat keras yang tidak pernah lunak, sebagaimana disebut dalam ayat di atas.

Keduaamtsâl  yang tersembunyi (Al-Amtsâl kâminah),  yaitu matsâl yang di dalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafadz tamsil tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah,  menarik dalam kepadatan redaksinya dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Di antara contoh al-amtsâl kâminah adalah:  ayat yang senada dengan perkataan: خير الأمور الوسط (sebaik-baik urusan adalah pertengahannya), di anataranya :
v  Firman Allah mengenai sapi betina
øŒÎ)ur tA$s% 4ÓyqãB ÿ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ¨bÎ) ©!$# ôMä.âßDù'tƒ br& (#qçtr2õs? Zots)t/ ( (#þqä9$s% $tRäÏ­Gs?r& #Yrâèd ( tA$s% èŒqããr& «!$$Î/ ÷br& tbqä.r& z`ÏB šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÏÐÈ
‘Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". (Q.S. al-Baqarah [2] : 67) [17]
Kisah sapi betina Bani Israel Ayat tersebut diturunkan setelah ayat-ayat yang menceritakan kisah sapi betina Bani Israel. Kesimpulan dari kisah tersebut dituangkan pada ayat 67 sampai ayat 73 di dalam surat al-Baqarah. Kisah itu sebagai berikut: "Seorang lelaki dari Bani Israel terbunuh tanpa diketahui siapa pembunuhnya. Hal ini menyebabkan terjadinya ikhtilaf di anatara mereka. Biasanya, ketika terjadi pembunuhan atas seseorang, sebagian mereka berusaha melemparkan tuduhan pembunuhan tersebut kepada pihak lainnya. Kisah yang sebenarnya adalah bahwa seorang pemuda telah membunuh pamannya yang kaya raya. Pemuda tersebut merupakan satu-satunya ahli waris pamannya. Tidak sabar menanti kematian pamannya itu, akhirnya ia memutuskan untuk membunuhnya agar segera memperoleh harta warisan darinya. Sebagian orang mengatakan bahwa kecintaan seorang pemuda kepada putri pamannya menyebabkan ia membunuh pamannya itu. Karena meskipun pamannya itu mencintainya, tetapi pada akhirnya ia mengawinkan putrinya itu kepada orang lain. Tersebarnya berita terbunuhnya seorang lelaki itu menimbulkan keributan sehingga membuat si pembunuh yang sebenarnya ikut-ikutan mencari sang pembunuh. Fitnah besar tersebut hampir-hampir saja mengobarkan peperangan antara saku dengan suku lainnya. Akhirnya mereka memohon kepada Nabi Musa as agar mencarikan solusi atas problem yang mereka hadapi. Allah memberikan jalan keluar sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur’an: "Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kalian agar menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah kamu ingin menghinakan kami?". Musa berkata: "Aku berlindung diri kepada Allah dari termasuk orang-orang yang bodoh ".
Artinya bahwa menghina itu termasuk perbuatan orang-orang bodoh. Sementara para nabi bebas dari perbuatan seperti itu. Setelah mereka yakin bahwa perintah itu serius "mereka berkata: "Mohonlah kepada Tuhanmu agar Dia menjelaskan kepada kami; sapi betina yang bagaimana?". Musa as menjawab: "Allah berfirman: Yaitu sapi betina yang tidak tua dan juga tidak terlalu muda, tetapi pertengahan di antara keduanya". Artinya usia sapi itu tidak terlalu tua dan juga tidak terlalu muda, tetapi pertengahan di antara dua kondisi. "Maka lakukkanlah apa yang diperintahkan kepada kalian!". Tetapi Bani Israel senantiasa berbuat rewel. "Mereka berkata: "Mohonlah kepada Tuhanmu agar Dia menjelaskan apa warna sapi betina itu?". Musa menjawab: "Dia berkata bahwa sapi betina itu harus yang berwarna kuning terang yang menarik bagi orang-orang yang memandangnya". Artinya bahwa sapi betina itu bagus warnanya dan tidak dicampuri dengan warna lainnya. Mereka masih saja rewel dan bertanya kembali kepada musa: "Mereka berkata: Mohonlah kepada Tuhanmu untuk kami agar ia menjelaskan kepada kami, maksudnya sapi betina yang bagaimana, sebab sapi itu masih juga samar bagi kami. Insya Allah kami betul-betul mendapat petunjuk". Musa menjawab: "Musa berkata: Allah berfirman yaitu sapi betina yang tidak jinak yang digunakan untuk membajak tanah dan tidk juga digunakan untuk menyiram tanaman". Artinya bukan jenis sapi betina yang biasa digunakan untuk membajak tanah dan menyiram pertanian. Akhirnya setelah susah payah, mereka mendapatkan sapi betina tersebut. Kemudian mereka menyembelihnya dan menyaksikan mukjizat Ilahi melalui sapi tersebut.
Ulasan dan tafsir Seharusnya peristiwa besar itu dapat menambah iman mereka. Tetapi hal itu tidak terjadi. Bahkan setelah itu ayat al-Qur’an menceritakan keadaan mereka dengan ungkapan: "hati mereka keras sehingga bagaikan batu atau lebih keras lagi". Artinya tanda-tanda kebesaran Allah itu tidak menambah kaum tersebut melainkan mereka malah tambah membangkang, keras hati, durhaka dan menginjak-injak kehormatan para nabi
v  Firman Allah mengenai nafkah:
tûïÏ%©!$#ur !#sŒÎ) (#qà)xÿRr& öNs9 (#qèù̍ó¡ç öNs9ur (#rçŽäIø)tƒ tb%Ÿ2ur šú÷üt/ šÏ9ºsŒ $YB#uqs% ÇÏÐÈ
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”. (Qs. Furqan [25]: 67)[18]
v  Firman Allah mengenai infaq
Ÿwur ö@yèøgrB x8ytƒ »'s!qè=øótB 4n<Î) y7É)ãZãã Ÿwur $ygôÜÝ¡ö6s? ¨@ä. ÅÝó¡t6ø9$# yãèø)tFsù $YBqè=tB #·qÝ¡øt¤C ÇËÒÈ
‘Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (Q.S Al-Isra [17] : 29)[19]

Maksud ayat di atas memberikan suatu perumpamaan secara dimmi tetang ajaran Islam yaitu  jangan terlalu kikir, dan jangan pula terlalu boros.

Ketiga, amtsâl yang terlepas (al-amtsâl al-mursalah), yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafadz tasybih secara jelas, tetapi kalimat-kalimat tersebut berlaku sebagai tasybih.
Para ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat yang mereka namakan amtsâl  mursalah, apa atau bagaimana hukum mempergunakannya sebagai matsâl. Contohnya  ar Raji menafsirkan ayat:
ö/ä3s9 ö/ä3ãYƒÏŠ uÍ<ur ÈûïÏŠ ÇÏÈ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (QS Al Kafirun [109] : 6)[20]
Menurut beliau, sudah menjadi tradisi orang ayat ini dijadikan sebagai pembela ayat yang membenarkan perbuatan ketika seseorang meningalkan ajaran agama, padahal tidak demikian adanya. Sebab Allah menurunkan al-Qur’an bukan untuk dijadikan matsâl, tetapi untuk direnungkan kemudian diamalkan isi kandungannya.
Sebagian golongan ulama berpendapat tidak ada salahnya apabila seseorang menggunakan al-Qur’an sebagai matsâl  dalam keadaan sungguh-sungguh seperti seseorang yang diajak bicara oleh penganut ajaran sesat yang berusaha membujuknya agar mengikuti ajarannya, ia menjawab:
ö/ä3s9 ö/ä3ãYƒÏŠ uÍ<ur ÈûïÏŠ ÇÏÈ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (QS Al Kafirun [109] : 6)[21]
Namun demikian, golongan ulama ini tetap memegang prinsip bahwa bolehnya menggunakan amtsâl  mursalah ini untuk kepentingan yang sungguh-sungguh, bukan untuk kepentingan senda gurau. [22]
Mannâ Khalil al Qattân[23] menuliskan beberapa contoh ayat yang mengandung amtsâl  mursalah, antara lain:
a.    QS Yusuf [12]: 51;
b.    QS An-Najm [53] :58;
c.    QS Yusuf [12] : 41);
d.   QS Hud [11] : 58);
e.    QS Al-An'am [6] :67;
f.     QS. Fathir [35] : 43;
g.    QS Al Isra' [17] : 84;
h.    QS al-Baqarah [2] : 216;
i.      QS Al Muddatstsir [74] : 38;
j.      QS Ar-Rahman [55]: 60);
k.    QS Al Mukminun [23] : 53;
l.      QS Al Hajj [22] : 73;
m.  QS Shaffat [37]: 61;
n.    QS Al Maidah [5] : 100 ;
o.    QS Al Baqarah [2] : 249;
p.    QS Al Hasyr [59] : 14;

E.            Faedah Amtsâl Al-Qurân
Adanya amtsâl  al-Qurân mengandung hikmah bagi umat Islam, diantara nya adalah mengandung manfa’at sebagai berikut :
1.             Menonjolkan sesuatu yang hanya dapat dijangkau dengan akal menjadi bentuk kongkrit yang dapat dirasakan atau difahami oleh indera manusia[24]. Sebagai contoh, manusia memahami tentang riya’, namun pemahamannya hanya difahami secara rasio di dalam akal. Oleh karena itu Allah memberi mitsil-nya dalam al-Qur’an sehingga manusia lebih dapat memahami melalui inderanya.
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=ÏÜö7è? Nä3ÏG»s%y|¹ Çd`yJø9$$Î/ 3sŒF{$#ur É©9$%x. ß,ÏÿYム¼ã&s!$tB uä!$sÍ Ĩ$¨Z9$# Ÿwur ß`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ¼ã&é#sVyJsù È@sVyJx. Ab#uqøÿ|¹ Ïmøn=tã Ò>#tè? ¼çmt/$|¹r'sù ×@Î/#ur ¼çmŸ2uŽtIsù #V$ù#|¹ ( žw šcrâÏø)tƒ 4n?tã &äóÓx« $£JÏiB (#qç7|¡Ÿ2 3 ª!$#ur Ÿw Ïôgtƒ tPöqs)ø9$# tûï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇËÏÍÈ
‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, Kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (Tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir’. (Qs Al Baqarah [2] : 264)[25]
2.             Menyingkapkan hakikat dari mengemukakan sesuatu yang tidak nampak menjadi sesuatu yang seakan-akan nampak.
Contohnya Q. S. Al-Baqarah: 275
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” Contoh lainnya terdapat dalam QS Al-Baqarah [2]ayat 275[26]
3.             Mengumpulkan makna yang menarik dan indah dalam ungkapan yang padat, seperti dalam amtsâl  kaminah dan amtsâl  mursalah dalam ayat-ayat di atas.
4.             Memotivasi orang untuk mengikuti atau mencontoh perbuatan baik seperti apa yang digambarkan dalam amtsâl, contohnya terdapat dalam Qs Al-Baqarah ayat 26.
5.             Menghindarkan diri dari perbuatan negative , contohnya terdapat dalam Qs Al Hujarat ayat 12
6.             Memuji orang yang diberi masal, contohnya terdapat dalam QS Al fath [48] ayat 29
7.             Menggambarkan sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak. Misalnya masal tentang keadaan orang yang dikaruniai Kitabullah tetapi ia tersesat jalan hingga tidak mengamalkannya. Contohnya terdapat dalam QS Al-A’raf [7] ayat 175-176.
8.             Amtsâl  lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan dan lebih dapat memuaskan hati. Dalam Al-Qur’an Allah swt. Banyak menyebut amtsâl  untuk peringatan dan supaya dapat diambil ibrahnya. Contohnya terdapat dalam QS Az Zumar[39] ayat 27 dan QS. Al-Ankabut[29] ayat 43

Secara khusus Abdurahman  An-Nahlawi mengangkat manfa’at matsal ini ke dalam metode pendidikan Islam. Penggunaan metode amtsâl dalam pendidikan tiada lain adalah untuk menggugah dua perasaan, yaitu menggugah rasa takut dan menggugah perasaan senang dan gemar beribadah pada anak didik.[27]
 Penerapan Metode Amtsâl dalam dunia pendidikan contohnya dapat dilakukan oleh guru Pendidikan Agama Islam di SMP ketika menyampaikan materi pelajaran dengan pokok bahasan infak fi sabilillah ". Tujuan dari materi ini adalah siswa diharapkan dapat memahami makna infaq yang benar sehingga siswa mampu membedakan antara infaq di jalan Allah dengan infaq yang bukan di jalan Allah dan mampu merangsang semangat para siswa untuk berinfaq dengan cara yang benar dan menghindarkan diri dari praktek‑praktek berinfaq yang salah. Dengan perumpamaan ini, secara teoritis akan mudah ditangkap oleh siswa sehingga mereka dengan mudah mampu membedakan antara infaq fi sabililldh dengan infaq lainnya.

F.            Penutup
Allah menggunakan banyak perumpamaan (amtsâl ) dalam Al-Qur’an. Perumpamaan-perumpamaan itu dimaksudkan agar manusia memperhatikan, memahami, mengambil pelajaran, berpikir dan selalu mengingat. Sayangnya banyaknya perumpamaan itu tidak selalu membuat manusia mengerti, melainkan tetap ada yang mengingkarinya/ tidak percaya. Karena memang tidaklah mudah untuk memahami suatu perumpamaan, maka kita perlu ilmu Amtsâl  al-Qurân untuk memahaminya.
 Amtsâl  al-Qurân adalah menyerupakan sesuatu dengan yang lain dalam hal hukumnya, dan mendekatkan sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan yang indrawi (konkrit, makhsus), atau mendekatkan salah satu dari dua makhsus dengan yang lain dan menganggap salah satunya itu sebagai yang lain’. Unsur-unsur Amtsâl al-Qurân terdiri dari (1) Wajhu Syabah (وجه ا لشبه), (2) Adaatu Tasybih (أدة التشبه),  (3) Musyabbah (مشبه), serta (4) Musyabbah bih (مشبه به).
Amtsâl  dalam al-Qur’an ada tiga macam, yaitu (1) amtsâl yang tegas (Al-Amtsâl musharrahah), yaitu matsâl  yang di dalamnya  dijelaskan dengan lafadz matsâl  atau sesuatu yang menunjukkan tasybih, (2) amtsâl  yang tersembunyi (Al-Amtsâl kâminah),  yaitu matsâl yang di dalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafadz tamsil tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, dan (3) amtsâl yang terlepas (al-amtsâl al-mursalah), yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafadz tasybih secara jelas, tetapi kalimat-kalimat tersebut berlaku sebagai tasybih.
Amtsâl  al-Qurân penting untuk memotivasi orang untuk mengikuti atau mencontoh perbuatan baik seperti apa yang digambarkan dalam amtsâl, menghindarkan diri dari perbuatan negatif. Amtsâl  lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan dan lebih dapat memuaskan hati. Dalam Al-Qur’an Allah swt. banyak menyebut amtsâl  untuk peringatan dan supaya dapat diambil ibrahnya. Amtsâl  juga memberikan kesempatan kepada setiap budaya dan juga bagi nalar para cendekiawan untuk menafsirkan dan mengaktualisasikan diri dalam wadah nilai-nilai universalnya.


DAFTAR PUSTAKA

al-Qattân, Mannâ Khalil, 2001, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (terjemah: Mudzakir As), Bandung: Pustaka Lintera
An-Nahlawi, Abdurahman, 1989, Prinsip-prinsip dan metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, Bandung : CV. Dipenogoro
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, 1993Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra
http,www.thstaipi.blogspot.com
Departemen Agama, tt, Al-Qur’an dan terjemah, Medinah Munawwarah: Mujamma’ Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li thiba al Mush-haf asy-Syarif
Ibnu Kasir, Al-Imam, 2003, Tafsir Ibnu Katsir, (terj) Bahrun Abu Bakar, Bandung Jakarta: Sinar Baru Al Gesindo
Syafi’I, Rahmat,2005,  Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka






[1] Rahmat Syafi’I, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka, 2005) hlm. 141
[2] Ibid, hlm. 141-142
[3]Mannâ Khalil al-Qattân, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Terj. Mudzakir AS, (Pustaka Lintera, Bandung, 2005), hlm 400
[4] Rahmat Syafi’I, Ibid,  hlm 143
[5] Mannâ Khalil al-Qattân, Ibid, hlm. 401
[6] Ibid, hlm  402
[7] Rahmat Syafi’I, Ibid, hlm. 143
[8] http,www.thstaipi.blogspot.com
[9] Ibid.
[10] Mannâ Khalil al-Qattân, Ibid, hlm. 404
[11] Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemah,(Medinah Munawwarah: Mujamma’ Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li thiba al Mush-haf asy-Syarif, tt) hlm. 65  
[12] Mannâ Khalil al-Qattân, Ibid, hlm. 404
[13] Departemen Agama, Ibid, hlm.11
[14] Al-Imam Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Katsir, (terj) Bahrun Abu Bakar, Jakarta, Sinar Baru Al Gesindo; Bandung; 2003),  hlm. 274
[15] Departemen Agama, Ibid, hlm.22
[16] Al-Imam Ibnu Katsir, Ibid, hlm. 600
[17] Departemen Agama, Ibid, hlm.20
[18] Departemen Agama, Ibid, hlm.568
[19] Ibid, hlm.428
[20] Departemen Agama, Ibid, hlm. 1112
[21] Ibid
[22] Mannâ Khalil al-Qattân, Ibid hlm. 409
[23] Ibid hlm. 407-408
[24] Mannâ Khalil al-Qattân, Ibid hlm. 409
[25] Departemen Agama, Ibid, hlm. 66
[26] Departemen Agama, Ibid, hlm. 69
[27]  Abdurahman An-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung : CV. Dipenogoro : 1989), hlm. 360

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers